Dinas perikanan Sulawesi Selatan mencari inovasi untuk mendorong produktivitas

Kepala Dinas Perikanan Sulsel mencari inovasi yang dapat membantu menciptakan industri berbasis kelautan yang berkelanjutan.

 

Itu adalah pesan yang jelas dari Dr Muhammad Ilyas, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi saat bertemu dengan para peneliti dari proyek komoditas PAIR.

“Saya tertarik dengan sains dan tujuannya adalah mencari solusi berdasarkan sains,” ujarnya di ruangan pertemuan antara timnya dengan staf Australia-Indonesia Centre, serta tim peneliti rumput laut PAIR.

Tim peneliti mempresentasikan temuan mereka tentang industri rumput laut kepada Dr Ilyas di Makassar bulan ini, termasuk diskusi mendalam tentang bagaimana teknologi seperti citra satelit dapat digunakan untuk lebih memahami wilayah produksi.

Tim menggunakan citra berkualitas tinggi selama tiga setengah tahun untuk memetakan area produksi di lepas pantai Sulawesi Selatan, yang untuk pertama kalinya digunakan dengan cara ini.

Menurut associate fellow PAIR Alexandra Langford, citra tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi tren dan apakah keputusan kebijakan memiliki dampak.

“Kita dapat menggunakan ini untuk melihat dampak program pemerintah terhadap desa rumput laut. Misalnya, jika teknologi atau program baru diterapkan, Anda mungkin dapat melihat apa yang terjadi dalam hal tingkat produksi,” kata Dr Langford.

Gambaran yang lebih tepat tentang area produksi juga akan membantu pembuat kebijakan dengan pertimbangan undang-undang zonasi saat ini dan memberikan akses yang adil ke wilayah laut.

 

Dr Muhammad Ilyas, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, memaparkan beberapa teknologi satelit yang saat ini digunakan. Image: Helen Brown AIC

 

Pertemuan tersebut juga membahas bagaimana citra tersebut memberikan gambaran produksi yang lebih akurat, dan tampaknya terjadi perkiraan yang berlebihan.

“Kami tidak memiliki sumber daya untuk melakukan perjalanan jauh dan jarak tempuh yang diperlukan untuk menjangkau daerah laut yang menghasilkan, jadi citra satelit bisa sangat membantu,” kata Dr Ilyas.

Menurut associate fellow Dr Syamsul Pasaribu, di sinilah inovasi teknis dapat membantu meningkatkan keseluruhan rantai pasok rumput laut.

“Seharusnya kita memiliki citra yang dekat dengan subjek atau berkualitas tinggi agar bisa dihitung. Lagi-lagi ini peluang bagi Departemen Kelautan dan Perikanan, terutama untuk memantau dan memperkirakan jumlah produksi,” kata Dr Syamsul.

Tim peneliti menjelaskan betapa pentingnya memahami hasil seiring dengan produksi dan mempertimbangkan apakah pembudidaya rumput laut memerlukan insentif untuk menghasilkan bahan baku berkualitas tinggi.

Pertemuan tersebut membahas teknologi yang sedang mereka selidiki yang berpotensi mengukur karakteristik kualitas rumput laut. Spektroskopi inframerah-dekat saat ini digunakan dalam industri kopi, dan pengujiannya adalah apakah dapat mengukur berbagai faktor pada rumput laut seperti kontaminasi pasir, tingkat kekeringan dan karaginan. (Karagenan adalah produk rumput laut yang dicari untuk digunakan dalam produksi pangan).

Salah satu masalah saat ini adalah petani dibayar berdasarkan berat, yang berarti tidak masuk akal bagi mereka untuk mengeringkan rumput lautnya secara optimal. Namun jika mereka dibayar untuk tingkat kekeringan, bukan berat, hal itu dapat menciptakan cara untuk memberikan lebih banyak nilai tambah kepada produsen rumput laut.

“Kami melakukan uji analisis harga pada industri rumput laut Indonesia dan tidak ada korelasi kualitas di pasar. Jadi jika petani menghasilkan rumput laut yang lebih baik dan lebih kering, mereka tidak mendapatkan harga yang lebih baik,” kata Dr Langford.

Peneliti senior dan pemimpin penelitian A/Prof Scott Waldron menunjukkan bahwa manfaat apapun dari alat penilaian cepat akan bergantung pada pedagang yang menggunakannya dan bersedia membayar harga berdasarkan kualitas.

Associate Professor Waldron mengatakan teknologi tersebut masih dalam tahap awal untuk rumput laut, namun merupakan salah satu contoh pendorong profesionalisme dalam industri ini.

 

Feature image: Dr Muhammad Ilyas, South Sulawesi Marine Affairs and Fisheries Department, Dr Hasnawati Saleh, AIC, A/Prof. Scott Waldron, Dr Alexandra Langford and Dr Kustiariyah Tarman, IPB University. Image: Marlene Millott, AIC.

Picture of Helen Brown

Lead, Communications and Engagement AIC