Mendorong tanggapan berbasis data terhadap pandemi

Penelitian dari tahap pertama pandemi menawarkan wawasan tentang konektivitas data kesehatan.

Peningkatan digitalisasi layanan kesehatan mungkin akan menjadi salah satu warisan positif COVID-19 bagi Indonesia. Sebuah laporan terkini yang disiapkan oleh para peneliti dari Partnership for Australia-Indonesia Research mengkaji konektivitas data kesehatan dalam enam hingga delapan bulan pertama pandemi dengan fokus pada kota Yogyakarta.

Laporan tersebut mengemukakan pentingnya data yang dapat diandalkan untuk menangani virus corona dalam membentuk kebijakan dan mengelola kesejahteraan masyarakat, tetapi merupakan tantangan bagi populasi sebesar Indonesia.

Daftar untuk Hari Pertama PAIR Digital Summit

Penelitian ini akan ditampilkan dalam panel diskusi utama dengan peneliti A/Prof Sherah Kurnia dan Dr Safirotu Khoir pada 30 November – Hari Pertama PAIR Digital Summit untuk tahun 2021. Penting untuk mengedepankan solusi berbasis bukti yang membantu memperkuat sistem kesehatan, yang akan membantu Indonesia lebih mampu menghadapi keadaan darurat.

Konteks penelitian berada di Yogyakarta dengan sistem desentralisasi. Ditemukan tiga alasan mengapa data COVID-19 di Indonesia tidak dapat diandalkan; sistem aplikasi terfragmentasi, duplikasi entri data dan kurangnya sumber daya manusia untuk penanganan data. Tim penelitian, Dr Safirotu Khoir dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan tantangan integrasi data dalam delapan bulan pertama pandemi cukup besar.

“Saat itu kekacauan memang ada. Data juga membingungkan, koordinasi masih rumit, melibatkan birokrasi yang kompleks,” kata Dr Safirotu.

Situasi menjadi lebih buruk pada Juni-Agustus 2021 ketika puncak gelombang kedua terjadi.

Berbagai tantangan integrasi data

Menyepakati solusi integrasi data dengan banyak pihak dengan tujuan dan prioritas yang terkadang berbeda dapat memakan waktu.

“Jadi butuh waktu untuk menyepakati solusi spesifik untuk mengatasi masalah integrasi data saat ini,” kata Dr Safirotu.

A/Prof Sherah Kurnia menambahkan beberapa poin penting.

“Selain itu, setiap daerah telah mengembangkan sistemnya sendiri sehingga mereka mungkin enggan untuk berubah karena mereka memiliki rasa memiliki dengan sistem mereka saat ini,” menurutnya.
“Jika API dikembangkan untuk mengintegrasikan semua sistem yang berbeda, itu akan menciptakan sistem yang kompleks untuk dikelola.”

Laporan tersebut merekomendasikan penerapan pertukaran informasi kesehatan terbuka (OpenHIE), penciptaan standar nasional, pengembangan kebijakan perlindungan data dan pengembangan sistem untuk kebutuhan masa depan, seperti catatan vaksinasi.

Anis Fuad, salah satu anggota penelitian dari Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa beberapa rekomendasi sudah dilaksanakan.

“Beberapa rekomendasi kami sudah dilaksanakan, meski beberapa aplikasi belum terintegrasi secara penuh,” ujarnya.

“Misalnya, dalam hal New All Record (NAR), kami dapat melihat beberapa peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah pengguna. Selain itu, data NAR sekarang dapat diakses di berbagai platform.”

Namun, rekomendasi mereka untuk menggunakan OpenHIE sebagai model interoperabilitas penuh belum sepenuhnya dapat diterapkan

“Bisa dimaklumi, butuh waktu. Tapi indikasinya bagus,” menurut Anis.
“Saat kami melakukan penelitian pada tahun 2020, belum ada DTO (Digital Transformation Office).

“Dengan adanya kabinet baru di Kementerian Kesehatan, digitalisasi menjadi salah satu pilar transformasi di Kementerian Kesehatan.”

Kebijakan pendukung

Lebih lanjut, Dr Safirotu mengatakan proyek tersebut berpotensi membuat perbedaan signifikan dalam integrasi data dalam jangka panjang.

“Kami memahami bahwa itu membutuhkan kebijakan pendukung yang kuat dan milestone tertentu untuk dicapai, tetapi tentunya membutuhkan waktu,” ungkapnya.

Sementara digitalisasi bukanlah hal baru dalam sistem kesehatan Indonesia, pandemi telah mendorong perubahan.

“Digitalisasi sebagai bagian dari proses administrasi dan bisnis negara bukanlah hal baru.
“Tetapi instruksi pemerintah telah dibagikan dan dimasukkan ke dalam lingkungan online di setiap bidang.
“Pandemi menciptakan momentum menuju pemikiran serius dan pelaksanaan digitalisasi.”

Dr Safirotu mengatakan pelajaran dari penelitian ini juga dapat diaplikasikan di luar Indonesia.

“Kami percaya bahwa negara lain dapat belajar dari temuan kami untuk memahami tantangan dalam integrasi data, terutama negara dengan sistem desentralisasi. Negara-negara lain dapat melihat urgensi memiliki data terintegrasi yang andal karena dapat membantu negara-negara dalam membuat kebijakan dan solusi yang efektif dalam menangani pandemi,” menurutnya.

Dan penelitian yang melanjutkan laporan tersebut sedang berlangsung.

“Ada ruang potensial untuk perbaikan berdasarkan temuan penelitian saat ini,” kata Dr Safirotu.

“Kami membutuhkan lebih banyak temuan untuk mendukung negara dalam menangani pandemi.”

Topik konektivitas data kesehatan akan ditampilkan dalam diskusi panel pada Selasa 30 November – Hari 1 PAIR Digital Summit. A/Prof Sherah Kurnia dan Dr Safirotu Khoir akan bergabung dengan Jeff Parker, Ketua AIBC Health Group, dan Petrarca Karetji, Kepala Pulse Lab Jakarta.

Baca laporan penelitian selengkapnya di sini.

 

Digital Communications Coordinator
The Australia-Indonesia Centre