Ringkasan: Hari 4 PAIR Digital Summit 2020
Mengatasi masalah kesehatan masyarakat dan disabilitas yang mempengaruhi kaum muda di Sulawesi Selatan dalam konteks COVID-19.
Hari terakhir AIC PAIR Summit 2020 fokus pada penanganan masalah kesehatan masyarakat dan disabilitas yang mempengaruhi kaum muda di Sulawesi Selatan dalam konteks COVID-19.
Profesor Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan, membuka hari terakhir PAIR Summit 2020 dan menyampaikan harapannya terhadap program tersebut. “Sulawesi Selatan berkontribusi besar bagi pemulihan ekonomi nasional. Dalam hal ini, yang ingin kita capai bukan hanya pemulihan ekonomi, tetapi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Oleh karena itu, kami berharap PAIR dapat mengambil peran dalam menciptakan solusi, khususnya dalam menangani dampak COVID-19,” ujar Profesor Nurdin Abdullah dalam sambutannya.
Forum Kebijakan
Melanjutkan fokus pada kaum muda dan Sulawesi Selatan dari PAIR Summit hari-hari sebelumnya, diskusi pada tanggal 3 Desember ini melanjutkan fokusnya untuk membahas kaum muda, tantangan kesehatan yang mereka hadapi dan strategi apa yang dapat digunakan untuk mengatasinya. Untuk membahas topik ini lebih dalam, AIC menyambut para ahli, termasuk anggota Dewan Penasihat Riset PAIR dalam Forum Kebijakan, untuk membahas masalah kesehatan dan kesejahteraan, dengan fokus khusus pada kaum muda di Sulawesi Selatan. Dr. Elan Satriawan, Dr. Erna Witoelar, Professor Budu, dan Dr Ishak Salim merupakan para pembicara di sesi pertama Forum Kebijakan.
Kesehatan individu dan masyarakat merupakan kunci penting dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang inklusif. Sulawesi Selatan adalah ekonomi terbesar ke-9 di Indonesia dan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Meskipun tingkat pertumbuhannya tinggi, Sulawesi Selatan juga memiliki jumlah penyandang disabilitas yang relatif tinggi yang kemungkinan besar akan memperburuk tingkat kemiskinan karena tenaga kerja yang tidak produktif. Pandemi COVID-19 kemungkinan akan semakin menambah beban mereka.
“Penyandang disabilitas sudah sangat rentan bahkan sebelum pandemi. Sejak pandemi, kerentanan mereka menjadi lebih berlapis,” kata Ishak Salim, salah satu pendiri PerDIK (Gerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan).
Koordinator Riset PAIR, Dr Hasnawati Saleh, memimpin sesi pertama untuk membahas bagaimana Sulawesi Selatan dapat mengatasi masalah tersebut mengingat Sulawesi Selatan juga memiliki tingkat stunting yang tinggi. Para panelis berpendapat bahwa interaksi masalah tersebut membutuhkan solusi yang cermat antar pemangku kepentingan lintas sektor.
“Stunting merupakan masalah multisektoral. Bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga tentang pola asuh, kesehatan lingkungan, air dan sanitasi serta akses terhadap makanan sehat,” kata Elan Satriawan, Ketua Kelompok Kerja Kebijakan TNP2K.
Indonesia telah berupaya mendorong kerjasama antar pemangku kepentingan untuk mengurangi kemiskinan di tingkat nasional dengan membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah tanggung jawab Presiden Republik Indonesia dan diketuai oleh Wakil Presiden.
Selain itu, “Gubernur Sulawesi Selatan juga menjadikan program stunting dan pencegahan gizi buruk sebagai program prioritas utama”, kata Profesor Budu, salah satu anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Sulawesi Selatan.
Dr Erna Witoelar, Mantan Duta Khusus PBB untuk MDGs di Asia Pasifik, juga menyampaikan harapannya untuk kolaborasi multi sektor dalam masalah ini, “Pemerintah perlu bekerja sama erat dengan pemangku kepentingan lainnya, termasuk universitas dan LSM dalam 3 aspek berikut: desain, data penerima bantuan, dan kualitas implementasi yang optimal, untuk memastikan bahwa program itu efektif. ”
Forum Penelitian
Dimoderatori oleh Helen Brown, Head of Communications and Outreach di The Australia-Indonesia Center, panel kedua terdiri dari AIC Senior Fellows, termasuk Professor Anu Rammohan dari University of Western Australia, Dr Sudirman Nasir dari Universitas Hasanuddin, dan Dr Christrijogo Sumartono dari Universitas Airlangga, yang membahas temuan penelitian mereka hingga saat ini dan rencana mereka untuk tahap penelitian selanjutnya di Sulawesi Selatan.
Diskusi menggeser fokus dari isu disabilitas ke masalah literasi gizi dan kesehatan. Jika hal ini tidak diperoleh pada tahun-tahun awal tumbuh kembang anak, hal itu telah terbukti mempengaruhi mereka saat dewasa dengan menyebabkan penyakit yang berisiko lebih besar dan berbagai masalah kesehatan lainnya.
Prof Anu Rammohan mengatakan “sebenarnya sangat sedikit data yang tersedia tentang keragaman makanan di tingkat rumah tangga dan tantangan yang dihadapi rumah tangga”. Berbagai strategi dibahas untuk mengatasi tantangan tersebut, diantaranya dengan program pengenalan sistem kupon pangan dan BPNT, yang bertujuan untuk keragaman pangan yang dikonsumsi sekaligus mensubsidi pembelian.
Selain itu, ada juga tujuan untuk memperkuat literasi gizi, seperti yang dikatakan oleh Dr. Sudirman Nasir, “banyak dari akar penyebab berasal dari tingkat literasi individu dan rumah tangga dalam mengelola gizi dan kesehatan, khususnya di tingkat desa.”
Penanganan masalah gizi buruk kembali membutuhkan kerjasama multi sektor yang tidak hanya melibatkan pemerintah melalui program bansos, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam upaya peningkatan literasi kesehatan di tingkat rumah tangga yang melibatkan seluruh anggota keluarga.
“Kuncinya adalah bagaimana kami [sebagai peneliti] dapat memberikan informasi kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan kesehatan kaum muda, khususnya perempuan dan penyandang disabilitas serta para penyandang gangguan kesehatan jiwa di seluruh Sulawesi selama pandemi,” kata Dr Christrijogo Sumartono.
“Tapi, kesadaran masyarakat juga harus ditingkatkan dengan mendidik kaum muda dan perempuan dalam mengatasi masalah kesehatan.”
Diskusi mendalam yang mengupas berbagai cara seputar masalah kesehatan kaum muda serta apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesehatan mereka diakhiri dengan membahas pertanyaan dari audiens tentang metode dan instrumen yang digunakan untuk menilai kebutuhan pangan rumah tangga di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kelompok penelitian PAIR yang berfokus pada isu Kaum Muda, Kesehatan dan Kesejahteraan, menjelaskan terkait Proyek Percontohan di Sulawesi Selatan yang telah dilakukan dan akan dilanjutkan dengan tahap penelitian berikutnya pada awal tahun depan.
Di hari terakhir PAIR Summit 2020, juga dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara AIC dan Pemerintah Provinsi Sulsel untuk mempererat kerjasama kedua pihak, dan acara tersebut ditutup dengan sambutan dari Deputy Head of Mission to Indonesia, Allaster Cox yang mengucapkan selamat kepada AIC PAIR atas pelaksanaan PAIR Summit 2020.
Untuk informasi lebih lanjut tentang Hari 4 PAIR Summit 2020, kunjungi di sini.
Diterjemahkan oleh Dilah Trya.