Inovasi, edukasi dan mengatasi tantangan plastik di Indonesia

Pemilik kafe dan homestay, Iwan Dento, adalah contoh adaptasi bisnis saat Indonesia menghadapi masalah sampah plastik dan berupaya mencapai masa depan yang lebih ramah lingkungan.

 

Kafe Iwan di Maros, Rumah ke2, berupaya mengurangi sampah plastik dan mendaur ulang plastik yang masih digunakan. Mesin penghancur plastik digunakan untuk memecah plastik untuk didaur ulang, sedangkan rumah sampah yang dibuat sendiri digunakan untuk penyimpanan.

“Kami mengelola sampah plastik menjadi produk daur ulang sederhana yang memiliki nilai jual seperti tumbler bag dan tempat tisu,” kata Iwan.

“Namun yang terpenting adalah mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, misalnya dengan menggunakan pipet bambu, kursi kayu, dan keranjang nasi.”

Menurut Program Lingkungan PBB, Indonesia adalah pencemar plastik terbesar kedua setelah Tiongkok, menghasilkan 3,2 juta ton sampah plastik yang tidak dikelola setiap tahunnya.

Iwan, yang juga mengubah sampah dapur organik menjadi pupuk, mewakili meningkatnya kesadaran di Indonesia akan perlunya mengatasi masalah sampah plastik.

Rencananya adalah menjadi bagian dari desa berkelanjutan yang mendorong perilaku ramah lingkungan.

“Lingkungan adalah ruang hidup dan penghidupan dan kita bergantung padanya,” katanya.

three women working with plastic, two wearing veil
Bekerja untuk mendaur ulang plastik. Kredit: Rumah ke2

 

“Interaksi dengan lingkungan akan melahirkan kebiasaan, kebiasaan menjadi budaya dan budaya akan menjadi jati diri kita.”

Dr Shinta Werorilangi dari Kelompok Penelitian Plastik Laut di Universitas Hasanuddin berharap dapat membantu mengatasi masalah plastik melalui pendidikan dan tindakan pemerintah.

Shinta ikut menulis laporan AICPAIR tentang plastik yang sudah habis masa pakainya dalam budidaya rumput laut dan melihat penanganan sampah plastik sebagai bagian dari upaya yang lebih besar menuju adaptasi perubahan iklim.

Mikroplastik sering kali dihasilkan dari sumber daya tak terbarukan seperti minyak, gas alam, dan batubara, berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dan pemanasan global.

“Hubungan ini menyoroti saling ketergantungan produksi mikroplastik dan perubahan iklim, serta menekankan perlunya mengatasi kedua masalah tersebut secara bersamaan.”

Meningkatnya frekuensi kejadian cuaca ekstrem juga dapat mempercepat penyebaran sampah plastik ke lingkungan.

“Hal ini dapat mengubah perilaku masyarakat dalam mengurangi plastik dan berkontribusi terhadap adaptasi perubahan iklim,” kata Shinta.

Ia merasa terdorong oleh pemerintah Indonesia yang kini mendorong pengelolaan sampah di darat dan menerapkan sistem pembatasan penggunaan plastik serta mendorong daur ulang.

Pergeseran ini telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan penurunan sampah plastik yang bocor ke laut sebesar 35,36 persen pada tahun 2022, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Meskipun Kementerian belum merilis data untuk tahun 2023, Dr Shinta mengatakan kemajuan ini adalah “tanda positif bagi masa depan pengelolaan sampah di Indonesia”.

Pemerintah mempunyai tugas besar untuk mencapai tujuannya mengurangi kebocoran sampah plastik ke laut sebesar 70 persen pada tahun 2025.

Peraturan yang ada seringkali tidak cukup untuk mengendalikan pengelolaan sampah daerah dan tidak ada komitmen besar dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, kata Shinta.

“Sudah banyak bank sampah dan masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung, tapi itu belum cukup.”

Dia mengatakan masih banyak yang bisa dilakukan untuk mengedukasi masyarakat mengenai nilai ekonomi dari penyelamatan sampah plastik dan bahayanya terhadap kehidupan kita dan lingkungan karena membiarkannya terbawa ke lautan dan rantai pasokan makanan.

Bisnis ekowisata Pajokka Balocci membuat ecobrick dari plastik dan mendorong wisatawan untuk membawa botol air yang dapat digunakan kembali. Ia mengatakan, inovasi-inovasi tersebut berasal dari budaya lokal di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan.

“Kami bertujuan untuk memberikan solusi kreatif dalam mengurangi sampah plastik dan organik, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah berkelanjutan,” kata Pajokka.

“Program ecobrick melibatkan masyarakat dalam mengubah botol plastik bekas menjadi bahan bangunan yang dapat digunakan kembali.”

Produksi batu bata tersebut dilakukan bekerja sama dengan Universitas Muslim Indonesia dan Universitas Bosowa.

Bisnis Pajokka, Penggerak Pariwisata Pajokka Balocci, juga melaksanakan program bersih-bersih sungai (BERSIH SUNGAI) setiap tahun, memberikan edukasi kepada masyarakat setempat tentang pencegahan sampah.

“Saya sangat bersemangat terhadap lingkungan karena kecintaan terhadap alam dan merasa bertanggung jawab melestarikannya untuk generasi mendatang,” kata Pajokka.

“Melihat dampak positif dari upaya pelestarian lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan kepuasan dan motivasi untuk terus berkontribusi.”

 

Men collecting bags of rubbish from a river bed
Kredit: Penggerak Pariwisata Pajokka Balocci.

 

Shinta, sementara itu, mengatakan pendidikan tingkat lokal dan kelompok swadaya masyarakat (KSM) dapat memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat.

“Yang paling penting adalah membuat pemerintah daerah berkomitmen untuk menjadikan pengelolaan sampah sebagai prioritas utama,” katanya.

“Tingkat kesadaran [masyarakat] terhadap dampak negatif sampah plastik terhadap lingkungan [saat ini] masih minim, apalagi mengenai mikroplastik.

“Kita perlu meningkatkan kesadaran tentang bahaya sampah plastik terhadap lingkungan, dampak negatifnya terhadap organisme laut dan rantai makanan, serta dampaknya terhadap sumber makanan laut dan fasilitas dalam menggunakan lingkungan perairan yang tercemar.”

Laporan mengenai plastik yang sudah habis masa pakainya yang ditulis bersama oleh Shinta mengungkapkan beberapa temuan, antara lain:

  • Kehadiran mikroplastik dalam jumlah besar di seluruh lingkungan setempat, menunjukkan adanya masalah polusi yang serius.
  • Mikroplastik berdampak pada banyak aspek kehidupan laut, tidak hanya air laut. Partikel plastik kecil ini ditemukan di seluruh lingkungan laut.
  • Mikroplastik hadir dalam berbagai ukuran, bentuk dan warna, mulai dari kurang dari satu milimeter hingga lima milimeter. Mereka ditemukan terutama dalam bentuk garis, pecahan dan potongan seperti busa. Warna yang paling banyak muncul adalah biru.
  • Studi ini menyoroti masalah penggunaan botol plastik dalam budidaya rumput laut, khususnya di tempat seperti Pitu Sunggu. Para petani biasanya menggunakan botol plastik dalam praktik pertanian mereka, yang seiring berjalannya waktu akan rusak dan secara signifikan menambah akumulasi sampah laut.
  • Sudah ada aturan yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk pengelolaan sampah. Namun di Pitu Sunggu, peraturan tersebut tidak dipatuhi dengan baik. Kegagalan dalam menegakkan peraturan ini menambah masalah lingkungan yang dihadapi masyarakat setempat.

Studi ini merekomendasikan penerapan strategi pengelolaan sampah regional, meningkatkan pengelolaan sampah melalui pendidikan dan inovasi praktik budidaya rumput laut berkelanjutan.

Gambar fitur dari Unsplash.