Mencapai keseimbangan yang tepat: Kesehatan versus ekonomi selama pandemi COVID-19

Pandemi telah membawa banyak kesedihan bagi semua orang, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa bisnis di Indonesia juga berhasil merespons dengan baik aturan lockdown dan pembatasan jarak sosial yang diberlakukan selama pandemi.

 

Hari 3 PAIR Summit berfokus pada pemulihan ekonomi, dengan mendiskusikan penggunaan data yang efektif untuk merencanakan arah kebijakan untuk menyelaraskan kesehatan dan kebutuhan ekonomi.

Pembicara PAIR Summit hari ketiga adalah pimpinan riset PAIR untuk COVID-19, antara lain Dr Pierre Le Bodic dari Monash University di Melbourne dan Associate Professor Sri Astuti Thamrin dari Universitas Hasanuddin. Hadir pula John Dovaston dari PwC untuk Asia Pasifik yang berbasis di Jakarta.

A/Prof Sri Astuti Thamrin mengatakan bahwa pengurangan aktivitas ekonomi diperlukan untuk membantu menekan penyebaran COVID-19 dan menyelamatkan banyak nyawa.

“Namun, konsekuensi dari penurunan ekonomi bisa berlangsung lama,” katanya.

“Dan bagi orang-orang yang berada dalam kesulitan keuangan yang ekstrim, ini mengarah pada situasi yang mengancam kehidupan mereka.

“Pemerintah perlu membuat keputusan terbaik untuk mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat dengan mempertimbangkan perspektif kesehatan dan ekonomi baik angka pendek hingga jangka panjang.”

A/Prof Sri Astuti Thamrin juga menjelaskan terkait kebijakan penanggulangan COVID-19 yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan provinsi dalam bentuk pembatasan sosial berskala besar atau ‘PSBB’.

“Pandemi COVID-19 telah memukul perekonomian Indonesia cukup keras. Memperlambat laju COVID berarti memperlambat ekonomi,” katanya.

“Dan apa keseimbangan yang tepat untuk dua tujuan yang berlawanan ini?

“Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia atau Sulawesi Selatan, tetapi juga di negara lain, karena ada negara yang mampu mengendalikan pandemi yang juga mencapai pemulihan ekonomi yang lebih berarti.”

Peneliti lainnya yaitu, Dr Pierre Le Bodic mengatakan bahwa penelitian mereka dilakukan sebelum vaksin dan pra-Delta tetapi hasilnya masih menawarkan pelajaran penting.

“Dan keputusannya adalah apakah kita perlu memberlakukan lockdown total atau semi-lockdown … atau hanya perlu keputusan yang diambil secara individual,” katanya.

“Dan kemudian juga memberlakukan penutupan batas kota untuk mencegah transmisi antar wilayah”

Dari PwC Asia Pasifik, John Dovaston, mengatakan bahwa pandemi ini memberikan perbedaan mendasar akibat krisis kesehatan, dibandingkan dengan krisis keuangan seperti GFC dan guncangan harga minyak tahun 1970-an.

“[Di era pandemi sebelumnya] orang masih bisa melakukan pekerjaan sehari-hari mereka dan masih berbaur satu sama lain,” kata Dovaston.

“Dari perspektif PDB secara global, [pandemi] diperkirakan telah menyebabkan sekitar 3,5% penurunan PDB global, dibandingkan dengan GFC yang memiliki 1,79%.”

John Dovaston juga mengatakan bahwa pandemi telah menyebabkan dampak yang signifikan pada kesehatan mental masyarakat, sementara langkah-langkah pembatasan jarak sosial telah memaksa banyak orang Indonesia kembali ke bawah garis kemiskinan.

“Tetapi konsekuensi dari apa yang terjadi dengan pembatasan ini adalah hingga 21 Februari, sekitar 1,8 juta orang [Indonesia] menjadi pengangguran 3,2 juta lainnya keluar dari pasar tenaga kerja.

“Dan saya kira yang mengejutkan lagi adalah, 2,8 juta orang kembali terjun ke dalam garis kemiskinan selama periode waktu itu, karena ada sektor pekerjaan informal yang terdampak sangat signifikan, seperti kontraktor, pekerja seni, dan semacamnya,” katanya.

“Dan beberapa industri terdapat dimana orang harus bekerja baik di manufaktur ritel maupun pertanian.”

John Dovaston memuji Indonesia karena mampu mencegah runtuhnya stabilitas masyarakat dimana protes justru banyak terjadi di berbagai belahan dunia lainnya karena kebijakan lockdown oleh pemerintah.

Ia mencatat dampak pandemi terhadap homeschooling selama lockdown, dimana pendidikan pasti akan menjadi pusat pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

John Dovaston menyebutkan bahwa pandemi telah menciptakan “situasi yang mustahil” dimana banyak hal terjadi dan tidak mampu diselesaikan hanya dengan kebijakan lockdown.

“Saya tidak berpikir bahwa lockdown adalah satu-satunya cara. Saya pikir sebuah model kebijakan baru bisa saja dimulai pada fase ini dengan data penting yang telah dikumpulkan dapat membawa kita ke depan dan melihat seperti apa rantai pasokan yang tepat untuk vaksinasi? Industri seperti apa yang dibutuhkan? Metode penyimpanan bahan baku seperti apa? Dan dukungan medis seperti apa?

“Dan hal-hal semacam ini dapat menginformasikan kebijakan pemerintah dan pelaku bisnis untuk rencana di masa yang akan datang.”

John Dovaston mengatakan bahwa di sisi lain pandemi memiliki dampak positif yang menyatukan berbagai kalangan dalam suatu perusahaan dan bisnis.

“Seseorang mengatakan kepada saya bahwa dulu butuh waktu lama untuk mampu melakukan transformasi dalam hal manajemen tim dengan menyatukan berbagai organisasi untuk berkumpul secara daring dan memungkinkan sebuah transformasi digital,” katanya.

“Dan ketika pandemi datang, ini merupakan salah satu momen pemersatu yang memungkinkan banyak tim dalam suatu organisasi untuk berkumpul, dan dapat mempercepat tugas perbankan misalnya, hingga membawa konsumen ke ritel online.”

John Dovaston mengatakan bahwa sebagian besar orang telah menyesuaikan diri dengan baik dengan keadaan yang berubah dan memodifikasi perilaku kerja mereka sesuai dengan masa kini.

“Saya pikir pandemi benar-benar mempercepat transisi publik ke ekonomi digital, yang merupakan perubahan yang sangat besar di Indonesia,” katanya.

“Ada sejumlah ‘unicorn’ yang telah didirikan di Indonesia di sektor ekonomi digital. Dan di banyak kesempatan sebelumnya kita telah mendengar bagaimana program pendidikan dan semacamnya juga berlangsung secara digital.

“Tapi tahukah Anda, ini semua tentang transformasi di Indonesia. Ini adalah transformasi rantai pasokan, transformasi tenaga kerja, transformasi pengalaman pelanggan, transformasi bisnis, dan transformasi ekonomi.”

Digital Communications Coordinator,
Australia-Indonesia Centre