Mendorong budaya perubahan: Bagaimana penelitian PAIR membantu memfasilitasi aspirasi kaum muda di Makassar dan sekitarnya

Enam peneliti muda dari universitas mitra Australia-Indonesia Centre menemukan betapa pentingnya aspirasi kaum muda dalam pembangunan kota.

 

Dalam kunjungan asisten peneliti PAIR Nurul Fauzia ke beberapa daerah pedesaan di Kabupaten Maros, dia terkesima dengan cepatnya perubahan pembangunan disana.

Maros hanya berjarak 30 kilometer dari Makassar, pusat perdagangan maritim berpenduduk melebihi 1,4 juta jiwa. Pertumbuhan kota tersebut berdampak pada daerah sekitarnya.

“Saya melihat perubahan mata pencaharian masyarakat setempat karena pembangunan besar-besaran dari Makassar, seperti pembangunan infrastruktur lintas kota dan kabupaten,” kata Nurul, yang bekerja di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Tim peneliti mengamati bahwa orang-orang berpindah dari desa mereka untuk mencari peluang kerja baru di kota.

Tim peneliti mengunjungi Kantor Desa Salenrang. Gambar dari Nurul Fauzia untuk AIC.

Dia adalah salah satu dari enam peneliti muda dari empat universitas berbeda di Indonesia, yang bekerja sama dalam tim peneliti tentang Kaum Muda dan Pembangunan dari AIC.

Tim pertama kali berkunjung ke Sulawesi Selatan pada Februari 2020 dan dikarenakan pandemi COVID-19, mereka tidak bisa kembali hingga awal tahun 2022.

“Makassar menjadi kota yang semakin padat karena masifnya pengembangan perumahan, dan banyak kegiatan perdagangan dan jasa,” kata Nurul.

Tim peneliti sedang mempelajari bagaimana perubahan kota dapat mempengaruhi kaum muda dan aspirasi untuk kehidupan dan karir mereka.

Menghabiskan waktu di perkotaan dan pedesaan, para peneliti mendapat banyak pembelajaran.

Rekan peneliti lainnya, Uly Faoziyah adalah mahasiswa doktoral dari University of Melbourne dengan latar belakang perencanaan wilayah dan kota.

Dengan minat untuk mengamati perubahan tutupan lahan di Maros, ia pun terpukau dengan energi dan semangat akan perubahan.

“Saya ingin belajar lebih banyak tentang Maros dan hubungannya dengan pemuda dan bagaimana ekspansi kota Makassar akan berdampak pada Maros,” kata Uly.

Penelitian Uly berusaha membantu pejabat daerah yang bertanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan pemuda, terutama dalam hal ketenagakerjaan dan dukungan pemerintah.

“Ketika kita bisa mengkaji bagaimana dinamika yang terjadi pada pemuda, maka kita bisa mendapatkan gambaran yang menarik,” renung Uly.

Florentina Dwiastuti, yang berasal dari Jakarta, senang menghabiskan waktu di Makassar, “halaman depan kantor pemerintah berisi banyak pepohonan”.

Kunjungan ke sekolah pariwisata dan perhotelan atau SMK di Makassar juga menginspirasinya.

students at a vocational school
Kegiatan siswa di SMK 8 Makassar, salah satu SMK di bidang pengelolaan pariwisata. Gambar dari Florentina Dwiastuti untuk AIC.

“Kami mengunjungi sekolah kejuruan unggulan dan mengobrol dengan para siswa tentang inspirasi dan motivasi mereka untuk belajar di sekolah kejuruan,” kata Florentina.

“Mudah-mudahan ke depan SMK di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan dapat mengembangkan fokus pada industri rumput laut, komoditas atau keahlian khusus di Maros, berdasarkan laporan riset kami.”

Memandang potensi lain di Sulawesi Selatan yaitu pertanian, Medina Savira memulai penelitiannya dengan menganalisis minat generasi muda terhadap pertanian.

“Saya sedang menulis makalah tentang kewirausahaan pedesaan dan keterlibatan pemuda,” tambah Medina, asisten peneliti dari ITB yang baru saja memulai PhD-nya.

Researchers visit to a vocational school
Tim peneliti Kaum Muda dan Pembangunan dengan kepala sekolah dan guru SMK 8 Makassar. Gambar dari Florentina Dwiastuti untuk AIC.

Peneliti dari Universitas Airlangga Retno Indro mengunjungi sekolah kejuruan yang sama dan tertarik akan semangat para siswanya, “mereka aktif dan terbuka, pandai dalam presentasi dan juga komunikatif”.

“Dari hasil pengamatan di SMK, kami merekomendasikan agar persepsi masyarakat terhadap SMK perlu diubah, terutama untuk jenjang sekolah menengah lanjutan,” kata Retno.

Para peneliti percaya bahwa riset mereka memiliki dampak yang positif bagi pemuda di Makassar dan Maros dan dapat membantu mengatasi masalah terkait kebijakan.

“Ada celah antara apa yang diinginkan pemuda dengan apa yang dilakukan pemerintah,” kata Uly.

“Kami berharap penelitian kami dapat membantu menjembatani kepentingan kedua belah pihak, baik bagi pemuda maupun pemerintah, khususnya di Maros.”

Nurul setuju dengan sentimen ini.

“Penelitian ini dapat menghasilkan kebijakan yang tidak hanya bersifat praktis tetapi juga memungkinkan pertimbangan rencana jangka panjang untuk masa depan kaum muda,” ujarnya.

“Saya berharap potensi sumber daya manusia dapat memajukan daerah karena Maros memiliki banyak potensi baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia.”

Misalnya, jika ada fokus pada industri transportasi di Maros maka relevan dengan pengembangan kurikulum kejuruan yang terkait dengan infrastruktur kereta api, bandara, dan pelabuhan terdekat.

Researchers meeting with stakeholders
Wawancara peneliti dengan Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Mr Tautoto Tanaranggina. Gambar dari Irfan Raharja untuk AIC.

Keterlibatan peneliti muda dalam proyek ini juga bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara penelitian dan kebijakan.

“Oleh karena itu proyek penelitian kolaboratif seperti PAIR dapat menjadi solusi alternatif dan dapat menjadi acuan dalam menciptakan kebijakan publik yang baik,” ujar Irfan Raharja, salah satu peneliti junior dari Universitas Indonesia.

Pengalaman penelitian kolaboratif ini sangat berharga bagi pengembangan profesional para peneliti muda.

“Ini membuka kesempatan saya untuk memahami budaya baru dan nilai-nilai tradisional yang ada pada masyarakat, dan juga mendapatkan pengalaman internasional,” tambah Medina.

“Bekerjasama dengan tim internasional sangat menambah wawasan dan membuka mata,” tambah Irfan.

Manfaatnya tidak hanya untuk individu tetapi juga untuk hubungan bilateral Indonesia-Australia.

“Di bawah kepemimpinan AIC, peneliti muda Indonesia telah dibina oleh peneliti senior Indonesia dan Australia dan sebaliknya. Para peneliti muda saling belajar tentang budaya dan nilai-nilai dari peneliti lain,” kata rekan peneliti senior AIC Reni Suwarso.

Menurut Dr Suwarso, batasan geografis menjadi tidak berarti karena fokusnya adalah pada isu penelitian bersama.

Foto di atas oleh Florentina Dwiastuti untuk Australia-Indonesia Centre.

Picture of Evelynd

Produser Konten Digital
The Australia-Indonesia Centre

Picture of David Sexton

Koordinator Komunikasi Digital
The Australia-Indonesia Centre