Mengatasi ‘pandemi bayangan’ COVID-19 dan dampaknya pada penyandang disabilitas
Hampir 80 persen kelompok penyandang disabilitas Indonesia telah kehilangan pendapatan mereka akibat pandemi, berdasarkan survei yang dilakukan di 22 provinsi oleh Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas.
Untuk lebih memahami kehidupan sehari-hari kelompok ini, Australia-Indonesia Centre (AIC) meluncurkan proyek Penelitian Cepat yang akan meneliti pengalaman perempuan dan laki-laki yang hidup dengan disabilitas selama pandemi Covid-19. Fokus penelitian ini akan dilakukan di Sulawesi Selatan, provinsi dengan jumlah penderita tertinggi di luar Jawa.
Orang yang hidup dengan disabilitas berisiko lebih besar terkena COVID-19 daripada yang lain, dengan mayoritas dari mereka berjuang untuk pembatasan sosial dan mobilitas, hingga terbatasnya akses layanan dan pembelajaran terutama ketika mereka diharuskan menggunakan aplikasi dan metode daring.
Terlepas dari situasi tersebut, survei juga menunjukkan bahwa penyandang disabilitas sangat ingin berkontribusi pada krisis yang diakibatkan oleh pandemi ini. Faktanya, 64% responden menyatakan ingin berkontribusi dalam penanggulangan pandemi mulai dari pembuatan masker, sosialisasi, edukasi, dan pengumpulan donasi.
Bagaimana para penyandang disabilitas menghadapi pandemi, dan bagaimana pemerintah serta organisasi terkait dapat mendukung mereka untuk mengurangi dampak COVID-19 pada kehidupan penyandang disabilitas?
“Riset kami mengeksplorasi kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas di Sulawesi Selatan. Hal ini akan berfokus pada pengalaman hidup mereka dalam menghadapi pandemi dan strategi penanggulangan yang mereka gunakan untuk mengelola efek dari krisis ini.”, sebut salah satu ketua tim penelitian ini, Associate Professor Becky Batagol dari Monash University.
“Sudah ada bukti bahwa krisis COVID-19 memperburuk situasi perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas, dengan konsekuensi yang mengancam nyawa. Terdapat bukti ‘pandemi bayangan’ dari peningkatan kekerasan terhadap perempuan sejak Maret 2020. Perempuan penyandang disabilitas sangat rentan terhadap kekerasan. Penelitian kami mengeksplorasi pengalaman berbeda dari perempuan dan laki-laki yang hidup dengan disabilitas melalui pandemi di Sulawesi Selatan.”, sebut Batagol.
“Penelitian ini unik”, ujar Dr Muhammad Junaid dari Universitas Hasanuddin, salah satu ketua tim peneliti tersebut. “Penelitian ini mempertemukan pakar akademis Indonesia dan Australia di bidang disabilitas, kesehatan masyarakat, dan gender, termasuk mereka yang pernah mengalami disabilitas dari organisasi non-pemerintah.”
“Tujuan kami adalah membantu memperkuat kebijakan dan program untuk mengurangi dampak COVID-19 pada perempuan dan laki-laki penyandang disabilitas. Pembelajaran kami di Sulawesi Selatan akan sangat berharga untuk menginformasikan kebijakan dan program yang lebih responsif gender dan peka budaya di berbagai tingkat pemerintah daerah dan provinsi, penyedia layanan dan LSM.”
Tim peneliti
Ketua: A/Prof Becky Batagol (Monash University), Dr Muhammad Junaid (Universitas Hasanuddin)
Anggota: Dr Sudirman Nasir (Universitas Hasanuddin), Dr Claire Spivakovsky (University of Melbourne)
Narahubung media Australia
Marlene Millott
Staf Program PAIR
+61 427 516 851
pair@australiaindonesiacentre.org
Narahubung media Indonesia
Fadhilah Trya Wulandari
Staf Program PAIR
+62 8124 3637 755
pair@australiaindonesiacentre.org
Tentang Australia-Indonesia Centre
AIC didirikan oleh Pemerintah Australia dan Indonesia pada tahun 2013. AIC menyatukan 11 universitas – tujuh universitas di Indonesia dan empat di Australia – untuk memajukan hubungan antar-warga dalam sains, teknologi, pendidikan, inovasi, dan budaya. AIC merancang dan memfasilitasi program penelitian bilateral, membawa hasil penelitian ke dalam kebijakan dan praktik. Hal ini membentuk tim interdisipliner yang bekerja secara kolaboratif dengan pemangku kepentingan – kebijakan, bisnis, dan komunitas – untuk menemukan solusi terhadap tantangan regional, nasional dan global.
Selain penelitian, aktivitas penjangkauan AIC berkontribusi pada upaya menghubungkan orang-ke-orang yang lebih luas. Hal ini dilakukan melalui dialog digital yang berusaha untuk memberikan berbagai wawasan baru. Hal tersebut juga mendukung pendalaman pertukaran budaya melalui festival film pendek Indonesia Australia, mengeksplorasi sikap dan persepsi nasional masing-masing terhadap satu sama lain, dan menyatukan pemimpin masa depan kedua negara dalam berbagai program, lokakarya, dan dialog.
Proyek Small Rapid Research (SRR) adalah bagian dari program Kemitraan untuk Penelitian Australia dan Indonesia (Partnership for Australia-Indonesia Research/PAIR), yang didanai oleh Pemerintah Australia.
Foto oleh Hobi industri di Unsplash