Mengatasi tantangan pendidikan kejuruan generasi muda di Sulawesi Selatan
Kemitraan Riset Australia-Indonesia (PAIR) telah menyimpulkan bahwa kaum muda di provinsi Sulawesi Selatan menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses pendidikan yang, jika ditanggulangi, akan membantu membuka peluang kerja yang lebih beragam dan menciptakan kesadaran akan peluang vokasi yang lain.
Tim riset meninjau kehidupan kaum muda, berusia antara 16 dan 30 tahun, dari beberapa desa di Kabupaten Maros, dan memeriksa apakah aspirasi, kehidupan, dan keterampilan mereka terkait dengan peluang kerja yang tersedia bagi mereka.
Hasil kerja tim riset disampaikan pertemuan Dewan Penasihat Riset yang merupakan perkumpulan ahli dari industri, organisasi masyarakat dan pemerintah yang memberikan arahan arahan tentang berbagai proyek penelitian Australia-Indonesia Centre.
Salah satu poin utama yang diangkat dalam pertemuan tersebut adalah ketidaksesuaian antara pelatihan keterampilan yang diberikan di sekolah kejuruan dengan peluang kerja yang tersedia di industri dan bisnis.
Tim peneliti telah menyusun beberapa rekomendasi tentang tata cara menyelaraskan pembelajaran siswa di sekolah kejuruan (dikenal sebagai SMK) dengan kegiatan mata pencaharian nyata.
Salah satu rekomendasinya adalah memanfaatkan proyek infrastruktur guna memastikan agar kaum muda mendapat keterampilan supaya siap kerja. Selain itu, tim riset merekomendasikan agar diciptakan kolaborasi yang lebih kuat antara industri, pemerintah, dan sekolah kejuruan guna meningkatkan relevansi program pelatihan. Contoh dari ketidaksesuaian ini adalah tidak ada anak muda dalam studi mereka yang mendapatkan pekerjaan dalam proyek pembangunan jalur kereta api pertama di Sulawesi Selatan.
Kaum muda merupakan lebih dari seperempat penduduk Sulawesi Selatan, sehingga membekali mereka dengan keterampilan dan pengetahuan yang relevan sangat penting demi pembangunan berkelanjutan provinsi di masa depan.
Peran penting sektor pertanian di kecamatan-kecamatan yang disurvei juga menjadi tema pertemuan.
Produksi pangan terancam di beberapa bidang, karena lahan pertanian dialihfungsikan untuk penggunaan lain, sementara produktivitas juga menurun.
Konsul Jenderal Australia di Makassar, Ibu Bronwyn Robbins, mengemukakan hal ini dalam pidato pembukaannya.
“Perambahan pada lahan pertanian sangat memprihatinkan, begitu juga dengan penurunan hasil dan produktivitas pertanian. Faktor-faktor ini menyebabkan penurunan pendapatan dan mengancam masa depan para petani,” kata Robbins.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang ketahanan pangan serta masa depan pertanian. Penelitian telah menemukan bahwa banyak orang tua di desa tidak memandang pertanian sebagai pekerjaan yang mereka ingin anak-anaknya ikuti. Sementara itu, banyak orang muda sendiri bercita-cita untuk bekerja di dalam ruangan ber-AC dan mendapatkan gaji – seperti pegawai negeri atau pekerjaan di toko serba-ada. Namun kenyataannya, bagi banyak orang, jenis pekerjaan ini di luar jangkauan mereka.
Asisten Deputi Bidang Pengembangan Agribisnis Peternakan dan Perikanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bapak Pujo Setio mengatakan, bukti-bukti yang dihasilkan penelitian ini memberikan wawasan yang bermanfaat.
“Bagi pemerintah daerah [penelitian] ini sangat penting meski belum tentu setiap rekomendasi bisa dilaksanakan. Kita perlu menjadi jembatan dan hasilnya harus sampai ke pimpinan pemerintah daerah agar kebijakan bisa diimplementasikan untuk pembangunan Maros bagi generasi muda dan tenaga kerja,” ujarnya.
Pertemuan tersebut mendengar bahwa kaum muda jarang didorong untuk memandang pertanian sebagai karier, terutama jika mereka memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Peluang dalam agribisnis modern juga tidak dipahami dengan baik dan masih ada pola pikir bahwa usaha pertanian tidak memerlukan pendidikan tinggi.
Banyak anak muda meninggalkan sekolah sedari dini dan kemudian mulai bekerja di usaha kecil atau di sektor pertanian atau perikanan, sedangkan beberapa lainnya bermigrasi ke Papua untuk mencari pekerjaan serupa.
Menurut co-lead dalam penelitian ini, Dr Wilmar Salim, hambatan utama untuk membantu kaum muda adalah membangun pola pikir yang tepat; dia merujuk pada program pertanian yang justru membantu melakukan hal tersebut.
Ada “peningkatan minat di kalangan petani milenial dengan latar belakang pendidikan tinggi” yang bergabung dengan program yang disebut (Youth Entrepreneurship and Employment Support Services Program (YESS). Dia mengatakan bahwa tingkat pendidikan para petani milenial yang tertarik untuk studi lanjut menantang pola pikir mereka tentang hubungan antara pendidikan dan agribisnis.
Bapak Pujo Setio mengatakan bahwa kebijakan pemerintah dari berbagai tingkat dapat dikoordinasikan dengan lebih baik untuk menciptakan tujuan yang terpadu, karena pekerjaan kedepannya sangat penting.
“Kita perlu memperkuat agribisnis agar mereka tidak hanya sebagai pekerja tetapi juga sebagai pemilik dan pelaku. Ini tidak sederhana karena membutuhkan pendidikan.”
Ketua Pokja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Dr Elan Satriawan menanggapi isu seputar berkurangnya kepemilikan lahan bagi petani dan penataan ruang, serta melihat peran lembaga lain untuk pelatihan daripada hanya mengandalkan SMK.
“Temuan penelitian Anda relevan untuk Maros, walaupun masalah ini tetap relevan untuk daerah lain. Seperti ketahanan pangan dan pengangguran,” kata Dr Elan.
Pertemuan tersebut mendengar bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan yang membahagiakan di beberapa kecamatan, dan angkatan kerja terdiri dari 16 persen pemuda, dengan laki-laki lebih cenderung hanya mengenyam pendidikan dasar. Tingkat pengangguran di daerah perkotaan lebih tinggi, dan banyak anak muda bekerja di bidang jasa, disusul oleh pertanian dan manufaktur.