Menguntungkan, produksi bioetanol berkelanjutan dari rumput laut kini semakin dekat
Rumput laut memiliki potensi untuk menjadi sumber bioetanol yang berkelanjutan, tetapi dibandingkan dengan banyak sumber makanan dan non-pangan lainnya, bahan ini agak rumit untuk diolah.
Dua Associate Fellows PAIR AIC, Dr Sulfahri (Universitas Hasanuddin) dan Dr Alexandra Langford (Universitas Queensland), dengan tim yang berasal dari universitas tersebut dan juga RMIT University, telah meneliti dua metode baru untuk menghancurkan dinding sel yang kuat pada makroalga laut, maupun rumput laut. Ini adalah tahap perlakuan awal yang penting sebelum mengolah rumput laut menjadi bioetanol.
Uji perakuan awal menggunakan jamur dan ozon, ‘Ozonolisis’, ‘Ozonolisis’ belum pernah diuji untuk perlakuan ini sebelumnya,, sementara perlakuan jamur sudah digunakan, meskipun tidak di semua proses produksi. Kedua perlakuan menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Rumput laut
Penelitian ini menggunakan dua jenis rumput laut merah, Kappaphycus alvarezii dan Gelidium amansii, dimana keduanya memiliki pertumbuhan yang cepat dan kaya akan karbohidrat, yang merupakan bahan utama dalam produksi etanol. Kelebihan lain yang membedakan sumber tersebut dengan bahan bioetanol lainnya adalah keduanya bukan merupakan tanaman pangan utama dan juga tidak mengambil lahan untuk produksi pangan.
Indonesia memproduksi lebih dari dua pertiga dari pasokan rumput laut merah dunia, hampir seluruhnya melalui industri rumah tangga kecil. Saat ini, rumput laut merah umumnya diekspor untuk keperluan bahan pangan (sebagai bahan pembentuk gel) dan kosmetik, dan petani sangat rentan terhadap fluktuasi harga. “Penganekaragaman untuk pengolahan rumput laut merah dalam negeri,” sebut laporan ozon, “sangat menjanjikan kebermanfaatan untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia” (Sulfahri et al., P1).
Pemerintah Indonesia saat ini memang fokus pada peningkatan produksi dan pengembangan pengolahan hilir di sektor ini.
Program PAIR AIC akan membantu mengembangkan industri rumput laut Sulawesi Selatan
Lebih jauh, pengembangan produksi bioetanol berbasis rumput laut di Indonesia adalah keputusan logis untuk dilakukan karena alasan lingkungan dan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar minyak luar negeri. Pemerintah telah mengamanatkan penggunaan bensin secara nasional dengan campuran bioetanol (E10) 10 persen pada tahun ini, dimana mantan direktur perusahaan bahan bakar milik negara Pertamina, Karen Agustiawan, mengatakan itu dapat mengurangi impor bensin hingga 30 juta barel per tahun.
Sumber bioetanol saat ini di Indonesia, yakni tebu, mungkin tidak cukup untuk memenuhi target ini. Bisakah rumput laut membantu? Mungkin tidak, kecuali jika keterjangkauan dan keberlanjutan proses konversi ditingkatkan.
Pra-perlakuan jamur
Singkatnya, bioetanol diproduksi dengan mengubah karbohidrat dalam bahan organik menjadi glukosa melalui hidrolisis, dan glukosa kemudian difermentasi menjadi etanol.
Kedua studi ini bertujuan untuk menemukan alternatif perlakuan awal untuk memecah dinding sel pada jenis rumput laut yang diinginkan, untuk memungkinkan akses menuju karbohidrat sebelumnya. Diketahui bahwa penggunaan asam dan bahan lain untuk langkah ini menghasilkan produk dengan efek samping yang berbahaya dan juga mahal.
Baca AIC Backgrounder kami: ‘Negara rumput laut: sektor pertumbuhan baru Indonesia’ (English only)
Para peneliti mengembangkan dan menguji metode penggunaan jamur Trichoderma harzianum dalam proses perlakuan awal. Ini adalah pendekatan yang paling tepat dari sekian banyak alternatif, dan ditemukan sesuai dengan berbagai alasan berikut:
- Enzim yang dihasilkan dapat mengganggu dinding sel alga (tugas inti)
- produk sampingannya tidak menghambat tahap produksi fermentasi selanjutnya
- biomassa yang dihasilkan selama proses perlakuan awal ini dapat digunakan sebagai nutrisi pada tahap fermentasi, yang berpotensi mengurangi biaya input.
“Penelitian menunjukkan bahwa perlakuan awal jamur sebelum hidrolisis enzim meningkatkan hasil gula 2,3 kali lipat dibandingkan dengan alga tanpa perlakuan, dan suplementasi nutrisi menggunakan biomassa jamur yang telah diproduksi meningkatkan hasil etanol hingga 38,23 persen. Data ini menunjukkan bahwa penggunaan jamur dalam perlakuan awal dan suplementasi nutrisi dapat sangat meningkatkan kelayakan ekonomi dari produksi bahan bakar nabati generasi ketiga ini.”
Ozon
Perlakuan awal dengan asam dan ozon diperbandingkan padai seluruh tahap pra-perlakuan, hidrolisis, dan fermentasi produksi bioetanol.
Perlakuan awal dengan asam memiliki beberapa kelemahan, termasuk kondisi reaksinya terhadap suhu tinggi (sehingga lebih mahal dan rumit) dan produk sampingannya yang dapat mempengaruhi proses fermentasi.
Studi ini menunjukkan bahwa meskipun penggunaan asam dibanding ozon selama tahap perlakuan awal dan hidrolisis, penggunaan asam ini juga menghasilkan penghambat pada proses selanjutnya, mengurangi efisiensinya secara keseluruhan yang cukup untuk mengungguli ozon.
“Hasil ini menunjukkan potensi ozonolisis sebagai perlakuan awal yang ramah lingkungan dan ekonomis untuk produksi bioetanol dari ganggang laut.”
Melalui Program Kemitraan Penelitian Australia-Indonesia (PAIR) dari AIC, Dr Sulfahri dan Dr Langford adalah bagian dari tim peneliti interdisiplin yang berupaya membantu Sulawesi Selatan membuka potensi industri rumput lautnya, dan untuk mewujudkan kesejahteraan dan pembangunan.
Baca lebih lanjut tentang program tersebut di sini
Baca lebih lanjut tentang industri rumput laut di Indonesia, di sini.
Baca ‘Negara rumput laut: sektor pertumbuhan baru Indonesia’ di sini (English only)
Diterjemahkan oleh Fadhilah Trya Wulandari.
Foto: DKP Provinsi Jawa Timur