Catatan dari Sulawesi Selatan: Keragaman gender masyarakat Bugis
Baru-baru ini saya melakukan perjalanan darat selama tiga hari di Sulawesi Selatan bersama dengan rekan senior AIC untuk mendalami kesadaran kami mengenai wilayah ini sebelum dilaksanakannya program riset skala besar dengan durasi empat tahun, yaitu Kemitraan Riset Australia-Indonesia (Partnership for Australia-Indonesia Research – PAIR).
Perjalanan ini merupakan salah satu bagian kecil dari pekerjaan pelingkupan awal PAIR, yang mempelajari karakteristik demografik dan sosio-ekonomi, variabel politik, aktor utama dan pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan. Riset PAIR akan dikerjakan oleh tim peneliti bilateral dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu.
PAIR bertujuan untuk memberikan penerangan kepada beragam masyarakat tersebut – terutama kaum mudanya – yang akan segera terkena dampak oleh proyek infrastruktur nasional yang sedang berlangsung : jalur rel kereta yang menghubungkan ibukota propinsi, Makassar (dahulu dikenal dengan nama Ujung Pandang), dengan kota Parepare.
Dalam perjalanan kami dari Makassar menuju Parepare, kami berkunjung ke beberapa masyarakat yang tinggal di sepanjang sisi jalur rel kereta yang baru, termasuk di Kabupaten Pangkajene (Pangkep). Direktur AIC untuk Indonesia, dan perencana perjalanan kami, Kevin, telah mengatur agar kami singgah di kota kecil Segeri, di rumah seorang bissu. Hal ini seketika menarik perhatian kami : apa itu bissu?
Kami kemudian segera mempelajari bahwa orang Bugis (atau disebut Bugis), merupakan satu dari tiga kelompok etnik utama di propinsi ini, dan memiliki lima gender yang saling eksis selaras berdampingan. Selain makkunrai (perempuan) dan oroané (laki-laki), masyarakat Bugis juga mengidentifikasi calali (perempuan transgender), calabai (laki-laki transgender) dan bissu. Bissu adalah gender kelima, yang memiliki semua gender atau tidak memiliki satupun gender di dalamnya : bissu melampaui gender. Etimologi istilahnya tidak jelas namun istilah tersebut dapat diadopsi dari kata Sansekerta bhiksu, yang artinya adalah biksu.
Bissu memegang peran sakral dalam kerajaan Bugis masa pra-Islam. Penyebaran ajaran Islam di Sulawesi Selatan pada awal abad ketujuh belas menantang klaim bissu yang memegang status agung. Meski demikian, bissu dapat hidup berdampingan dengan damai bersama dengan penganut keyakinan Islam dalam waktu yang lama. Namun terjadi pergeseran saat ada gerakan fundamentalis Islam yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar pada tahun 1950-an dan 1960-an. Bissu (bersama dengan komunis) dianiaya, disiksa dan dibunuh dengan kejam, dan kebiasaan serta upacara mereka dilarang untuk dilaksanakan.
Namun sejak jatuhnya Suharto pada tahun 1998, bissu mendapatkan penerimaan yang lebih baik dan bahkan dihormati oleh banyak umat Muslim Bugis yang taat. Bissu masih meresmikan bangunan, melaksanakan ritual spiritual saat upacara pernikahan dan musim panen, dan diyakini mampu memulihkan kesehatan. Tidak aneh bila mereka digambarkan di banyak tempat sebagai pendeta androgini atau dukun (kata androgini diadopsi dari Yunani andros untuk perempuan dan gyne untuk perempuan).
Saat tiba di Segeri, kami lompat keluar dari mobil van kami, bersemangat untuk berjumpa dengan Bissu Nani, yang juga dikenal sebagai Bissu Matoa. Rumahnya dicat kuning, dengan teras kecil yang menghadap ke muka jalanan. Di sisi kanan pintu depan ada tanda yang menampilkan Ayat Kursi, yang dianggap umat Muslim sebagai salah satu surat terkuat di dalam Al-Qur’an. Di depan rumah Nani terdapat sekelompok perempuan dan anak-anak yang menyambut kami dengan hangat. Merekapun terlihat penasaran dengan kami, sama seperti kami kepada mereka. Mereka mengundang kami masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan kami untuk duduk.
Setelah beberapa menit, Nani perlahan masuk melalui pintu belakang, ia mengenakan kerudung merah dan putih. Ia kemudian duduk dekat kami dan menyalakan sepuntung rokok. Kevin memberikan beberapa pertanyaan dan Nani mengungkapkan beberapa aspek kehidupan seorang bissu, termasuk di masa sulitnya. Kami kemudian diajak masuk ke dalam ruangan kecil yang dialasi dengan karpet, dan dihias dengan warna sejuk nan hangat, dimana Nani kemudian membacakan mantera, berkomunikasi dengan ruh purbakala sekaligus memberikan rasa hormatnya.
Setelah kembali ke dalam mobil van, dalam perjalanan kami menuju Parepare, saya merefleksikan semua pengalaman yang membuat saya bertanyan tentang struktur gender terdikotomi dan tertata dengan absolut.
Bissu jelas menantang asumsi yang ada tentang ‘norma’ dan ‘peran’ gender. Mereka juga menantang pandangan stereotipikal dan kadang dominan tentang Islam sebagai agama yang intoleran, dan tidak fleksibel terhadap perubahan. Bahkan, sebagaimana didemonstrasikan oleh masyarakat Bugis, Islam dapat bersifat toleran dengan keyakinan lain dan dengan keragaman gender. Islam dapat bersimpati dan bersifat fleksibel.
Bacaan lebih lanjut:
Idrus Nurul Ilmi (2016), Gender Relations in an Indonesian Society: Bugis Practices of Sexuality and Marriage (Leiden & Boston: Brill).
Davies Sharyn Graham (2010), Gender diversity in Indonesia: Sexuality, Islam and Queer Selves (London: Routledge).
Boellstorff Tom (2005), The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia (Princeton: Princeton University Press).
Diterjemahkan oleh Fadhilah Trya Wulandari.