Catatan dari Sulawesi Selatan : Dalam perjalanan dan jalur rel dari Makassar ke Parepare
Saat AIC sedang bersiap untuk meluncurkan program riset kolaboratif barunya, yaitu Kemitraan Riset Australia-Indonesia (Partnership for Australia-Indonesia Research – PAIR), di Sulawesi Selatan menjelang akhir tahun ini, kami melakukan perjalanan tiga hari di akhir Maret untuk bertemu dengan masyarakat yang tinggal di jalur jalan trans-Sulawesi antara Makassar dan Parepare.
Bersama dengan saya adalah CEO AIC Eugene Sebastian, Direktur untuk Indonesia Kevin Evans, Program Manager PAIR Leonardo Pegoraro, dan pembuat film dokumenter lokal Pak Arfan.
PAIR akan fokus pada masyarakat yang berada di sepanjang jalur tahap pertama (hampir satu per tiga bagian telah dibangun) rel kereta trans-Sulawesi, dimana bila konstruksi telah lengkap dan usai, maka masyarakat akan dapat menempuh perjalanan antara Makassar dan Parepare hanya dalam waktu tempuh antara 1 hingga satu setengah jam. Kami mengetahui melalui perjalanan ini, bahwa jalur yang ada saat ini memerlukan waktu tempuh berkendara selama tiga hingga lima jam, melalui jalan raya yang sangat padat, yang merupakan jalur tunggal penghubung Makassar dengan masyarakat di daerah lain, dengan produsen pertanian dan industri di daerah lain yang berada di wilayah utara dan timur Makassar.
Jalur jalan raya ini dipadati oleh berbagai masyarakat kecil di kedua sisinya, ditandai dengan jelas oleh masjid setempat – seringkali dengan hiasan ornamen cantiknya, dengan keramik berwarna terang yang ditata dengan pola detail. Banyak masjid yang kami lihat dalam interval antara 2-3 kilometer di sepanjang jalur jalan raya trans-Sulawesi, jalan raya dengan berbagai fungsi, seperti membawa segala jenis kendaraan, mulai dari truk gandeng panjang besar yang memindahkan barang dari produsen ke pusat kota dan pelabuhan Makassar, lalu lintas setempat termasuk mobil dan motor (seringkali mengangkut barang ukuran besar), hingga para pejalan kaki yang berlalu lalang – dengan anak kecil mungkin berusia tujuh atau delapan tahun berjalan kaki, seringkali berkelompok, di sisi jalan antara rumah dan sekolahnya.
Meskipun para pengemudi lokal berkendara dengan sangat berhati-hati, berupaya menghindari insiden dengan berbagai kombinasi manuver terampilnya, menavigasi di dalam lalu lintas, memberikan signal kepada pengendara lain dengan klakson, satu hal yang tentunya tak terelakkan adalah bahwa semakin tinggi ragam pengguna jalanan meningkatkan kemungkinan yang lebih signifikan terhadap kecelakaan dengan luka serius dan kritis.
Kelompok kami menyaksikan kejadian ini secara langsung, dimana saat berada di jalan dengan susana yang relatif sepi, namun tiba-tiba truk di depan kami segera mengurangi kecepatannya dan belok tajam ke arah kanan untuk berputar balik. Seorang pengendara motor yang berkendara di dekat truk tersebut, dan mungkin tidak terlihat oleh pengemudi truk, tidak mampu menghindari tabrakan dengan truk yang sedang berputar. Untungnya, dan dengan penuh keajaiban, pengendara motor tersebut jatuh ke sisi lalu lintas yang lain sehingga selamat dari luka serius.
Saat kami menuju utara dari Makassar, kami singgah di salah satu tempat yang akan menjadi stasiun kereta di Kabupaten Barru. Di sini kami berjumpa dengan Pak Arinova G Utama, Kepala Divisi Pemantauan dan Komunikasi untuk konstruksi jalur kereta. Beliau dan timnya mengajak kami uji coba Kereta Eksekutif sekaligus memberikan paparan informatif tentang proyek ini. Berbeda sekali dengan perjalanan melalui jalur jalan raya kami, perjalanan dengan kereta yang kami alami sangat nyaman dan mewah dimana kami bisa duduk santai menikmati belantaran sawah hijau dan gunung di satu sisi, serta pemandangan laut di sisi satunya. Jarak antara dua rel di Sulawesi juga lebih lebar daripada di Jawa. Oleh karena itu, kereta dapat berjalan dengan lebih cepat dan mampu mengangkut kargo dalam jumlah yang lebih banyak. Salah satu dari kami terpikir potensi kereta untuk turut membangun industri pariwisata Sulawesi Selatan, bukan hanya melalui kemampuan menyediakan moda transportasi yang aman dan nyaman untuk memindahkan orang dalam jumlah banyak ke daerah wisata, namun juga lansekap indah yang dapat dinikmati dalam perjalanan.
Dengan observasi bahaya jalan raya yang kami alami sebelumnya, lega rasanya saat kami mengetahui bahwa seluruh jalur kereta ini akan ditingkatkan dengan lebih sari 120 beton penyangga, sehingga meniadakan risiko normal yang terhubung dengan masalah penyeberangan di jalur atas – risiko yang akan diangkat mengingat fakta bahwa proyek ini merepresentasikan jalur kereta pertama di pulau Sulawesi.
Kami dikawal untuk tur keliling singkat dari Pelabuhan Garongkong, dimana jalur kereta berhenti, dan akan memfasilitasi pengapalan barang lokal dan komoditas dalam jumlah besar, bukan hanya untuk pasar domestik, tetapi juga untuk pasar internasional, sebagai tambahan dari roll-on-roll-off ferry. Setelah persinggahan ini, kami lanjut ke utara melalui perjalanan di daerah pesisir, dimana berdasarkan penjelasan Pak Arinova, jalur kereta akan meninggalkan pulau ini dan berpindah ke jembatan atas dengan tinggi 7 meter untuk melewati jalur air sepanjang 1.6 kilometer.
Bagian ini bukan hanya akan memberikan penumpang pemandangan indah dari hutan yang dilindungi di sepanjang pesisir pantai, namun sekaligus memastikan bahwa jalur kereta tidak merambah hutan yang dilindungi. Jembatan ini, mengingat tingkat teknisnya yang sangat signifikan, akan menjadi bagian jalur dengan biaya termahal, karena sekaligus akan dihubungkan dengan terowongan yang dibangun saat jalur tiba di stasiun Kota Parepare. Bagian jalur yang relatif singkat ini akan menyerap biaya lebih besar daripada pembangunan jalur 140 kilometer lainnya.
Kami berpisah dengan Pak Arinova di lokasi yang akan menjadi perhentian kereta terakhir di Parepare, sekitar 200 meter dari kampus Universitas Muhammadiyah Parepare. Sebelum beranjak, kami disapa hangat oleh seorang pelajar yang mengenali aksen Australia kami, ia kemudian menghentikan kami di tempat parkir mobil dan semangat berbagi kisah perihal koneksinya dengan akademisi Australia yang berbasis di Melbourne. Lokasi perhentian akhir kereta ini menjadi perhatian bagi kami yang berasal dari Monash, yang notabene telah menanti selama sekitar 50 tahun berharap agar Kampus Clayton dapat terhubung langsung dengan jalur kereta, sehingga memfasilitasi akses mudah antara pendidikan universitas dengan masyarakat sekitarnya.
Diterjemahkan oleh Fadhilah Trya Wulandari.