Pekerja kreatif dan mencari penghasilan selama masa pandemi global
Seorang perancang busana di Yogyakarta yang kehilangan penghasilan dan beralih menjual masker merupakan salah satu potret ketangguhan pekerja kreatif Indonesia selama pandemi COVID-19.
Kisah ini diangkat dalam sebuah diskusi di PAIR Summit 2021 yang mencakup sesi tentang bagaimana respon pekerja kreatif di Yogyakarta terhadap pandemi.
Sesi tersebut didasarkan pada laporan penelitian yang dihasilkan oleh peneliti PAIR yang meneliti dampak gelombang pertama COVID-19 di Indonesia.
Peneliti Dr Annisa Beta mengatakan kisah perancang busana adalah contoh seseorang yang sempat dikejutkan oleh pandemi tetapi kemudian bisa menyesuaikan diri.
“Dia sudah menjadi pekerja kreatif menengah dan (awalnya) sangat terkejut dengan pandemi COVID,” kata Dr Beta.
“Tapi kemudian dia mulai menyesuaikan diri dengan menjual masker.”
Sesi dimulai dengan sambutan pembukaan oleh Odo RM Manuhutu, Deputi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang menyerukan keyakinan bahwa pandemi akan segera berakhir dan diperlukan penguatan kerja sama lintas lembaga termasuk akademisi dan pertahanan.
Peneliti Dr Oki Sutopo mengatakan pekerja kreatif bergulat dengan dua pertanyaan utama: bagaimana bertahan hidup baik secara ekonomi maupun artistik?
“Sebagian besar pekerja kreatif muda untuk bertahan hidup secara ekonomi biasanya mengalihkan bisnisnya ke penjualan makanan, seperti donat dan penjualan makanan lainnya.”
Tetapi bertahan secara artistik menghadirkan tantangan yang berbeda.
“Beberapa dari mereka mulai berpikir bagaimana beradaptasi dengan situasi baru ini? Misalnya, musisi mulai berpikir tentang bagaimana tampil tidak dalam satu grup penuh tetapi dalam komposisi yang lebih minimalis.
“Komposisi grup terbaru mereka mungkin lebih banyak hanya terdiri dari vokalis dan keyboardis dan perform dengan protokol yang sangat ketat seperti yang disarankan oleh pemerintah.”
Dr Sutopo mengatakan gelombang pertama pandemi menyoroti situasi genting yang dihadapi oleh pekerja kreatif, dengan banyak yang tidak mampu bertahan secara ekonomi.
Namun ia juga mencatat rasa kebersamaan yang kuat di sektor ini.
“Sektor kreatif pada dasarnya berbasis komunitas dan ada sedikit jaring pengaman yang membantu mereka bertahan,” katanya.
“Mereka mulai berkolaborasi tidak hanya dengan mereka yang berasal dari sektor kreatif yang sama, tetapi juga dengan sektor kreatif lainnya. Misalnya, seorang musisi berkolaborasi dengan fotografer dan juga berkolaborasi dengan para penari.”
Dr Sutopo mengatakan ada ketidaksetaraan yang signifikan di antara pekerja kreatif terkait akses ke infrastruktur digital.
“Dalam kondisi pergeseran besar atau cepat ke teknologi digital, tidak semua pekerja kreatif muda ini mampu beradaptasi dengan transformasi ke digital,” katanya.
“Ini juga menjadi masalah tidak hanya dari segi infrastruktur tetapi ketimpangan dalam hal bagaimana mereka mampu menguasai modal budaya untuk bertahan dari transformasi digital ini.”
Dr Beta berbicara tentang perlunya penciptaan ekosistem bagi pekerja kreatif di Yogyakarta, yang melibatkan tidak hanya komunitas seni, tetapi juga pemerintah dan mungkin juga sektor swasta.
“Salah satu hal yang menurut saya penting adalah pemerintah dan banyak pemangku kepentingan lainnya harus mendukung dan mendorong pekerja kreatif untuk benar-benar berorganisasi,” katanya.
“Di Indonesia, organisasi pekerja atau organisasi buruh, sayangnya, hanya menjadi hak istimewa dari beberapa kelompok dan mereka sebenarnya telah mengumpulkan banyak hasil positif.
“Jika pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dapat mendorong pekerja kreatif untuk mulai berorganisasi, pemerintah dapat memiliki angka yang jelas tentang berapa banyak orang yang terlibat di sektor mereka.
“Saya pikir dengan cara itu pemerintah dan pekerja kreatif dapat berkomunikasi dengan jelas dan pemerintah tahu cara terbaik untuk mendukung mereka.”
Terkait industri perfilman, direktur festival ReelOz Ind Dr Jemma Purdey mengatakan pandemi telah memengaruhi perubahan industri ini menjadi 100 persen daring.
“Kami sudah memiliki platform untuk menyelenggarakan festival secara online. Kami telah melakukan itu sejak hari pertama dan semua hasil yang kami punya dilaksanakan secara daring, yang jelas saat ini festival film secara umum melakukan itu,” kata Dr Purdey.
“Jadi teknologi sudah ada. Di Indonesia dan Australia, kami telah melihat ini berjalan cukup mulus sejak awal, dan memang orang Indonesia selalu mendominasi peserta film festival kami.”
Dr Purdey mengatakan pandemi telah memengaruhi jenis karya ReelOzInd, dimana festival ini justru memiliki jumlah pengiriman tertinggi di tahun pandemi.
“Kami juga melihat banyak sekali animasi yang muncul, yang juga tidak mengejutkan. Dan kemudian kecenderungan tematik, kami melihat jelas banyak refleksi pada tema-tema seperti isolasi dan dislokasi dan hal semacam itu,” katanya.
“Jadi itu benar-benar perpaduan kreativitas yang indah, dan yang kami sukai di ReelOzInd adalah Anda melihatkolaborasi Australia dan Indonesia.”