Peneliti junior berbaur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di desa rumput laut

Selama hampir satu tahun, empat peneliti muda Indonesia telah ditempatkan di dua desa pesisir yang berbeda sebagai bagian dari proyek besar PAIR tentang rumput laut.
Pekerjaan mereka telah menjadi bagian integral dari pengumpulan data yang akan membantu menciptakan industri rumput laut yang lebih berkelanjutan, dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani rumput laut.
Komitmen dari para peneliti muda ini telah membuka kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan keterampilan interdisipliner, sekaligus belajar bagaimana berinteraksi secara konstruktif dengan orang-orang yang dapat memberikan wawasan terbaik.
Radhiyah dan Zulung
Pada masa depan saat Radhiyah Ruhon merenung tentang masanya bekerja sebagai peneliti di sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan, kemungkinan besar persahabatan yang terjalin dan hubungan kekerabatan yang dibangun akan menjadi kenangan yang membahagiakan.
Radhiyah telah tinggal di desa kecil Pitusunggu, Kabupaten Pangkep selama hampir satu tahun, sangat kontras dengan kota kelahirannya Makassar yang berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa.
Dia adalah salah satu dari empat anak muda yang ditempatkan di desa-desa yang memiliki hubungan kuat dengan industri rumput laut, yang membantu proyek besar PAIR di sektor komoditas tentang pendekatan untuk menciptakan industri yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Peneliti muda lainnya, Zulung Walyandra, yang juga tinggal di desa Pitusunggu, mengalami pengalaman serupa meskipun awalnya ragu dengan apa yang diharapkan dari penempatan ini.
Para peneliti muda ini merupakan lulusan perikanan yang lebih terbiasa bekerja dengan kehidupan laut. Pekerjaan di desa telah memberi mereka kesempatan untuk melakukan penelitian sosial ekonomi tingkat tinggi sehingga pengalaman ini menambah kapasitas mereka sebagai peneliti profesional yang multidisiplin.

Radhiyah telah mengerjakan dua proyek penelitian di desa tersebut; yang pertama tentang keadaan industri budidaya rumput laut secara umum sedangkan yang kedua mengukur berapa banyak mikroplastik yang masuk ke laut karena budidaya rumput laut.
Jadi apa saja pengalamannya?
“Saya suka lingkungan desa, tidak terlalu terpencil tapi juga tidak terlalu ramai.”
“Ada cukup banyak hal yang terjadi untuk melepaskan ketegangan dari hiruk-pikuk perkotaan,” katanya.
Radhiyah tinggal di rumah bersama dengan warga lokal. Keluarga ini membuatnya merasa nyaman sejak pertemuan pertama mereka.
Agar mereka merasa nyaman dengan kehadirannya dalam keluarga tersebut, dia berusaha menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk berbicara dengan tuan rumah, tidak hanya tentang budidaya rumput laut tetapi juga tentang berbagai segi kehidupan.
“Saya juga biasakan membawa bingkisan kecil setiap kali saya datang dari Makassar, sebagai tanda terima kasih,” ujarnya.
Berpartisipasi dalam acara-acara masyarakat setempat juga penting sebagai cara membangun kepercayaan warga lokal.
“Saya biasanya menghadiri acara-acara masyarakat setiap kali diundang, ini kesempatan untuk lebih mengenal warga desa, agar orang-orang akrab dengan kehadiran saya,” kata Radhiyah.
Radhiyah biasanya bangun pagi. Pada saat sinar matahari pertama muncul di cakrawala, Rahadiyah dapat dilihat naik sepedanya sambil memantau pekerjaan para petani. Dengan demikian dia bisa lebih dikenal mereka.
“Pada jam-jam seperti ini, beberapa keluarga petani biasanya masih berada di teras rumahnya untuk menikmati teh pagi.
“Seringkali mereka panggil saya untuk menikmati teh hangat bersama dan kami bicarakan hal-hal terkait keseharian. Tak jarang, saya menjadi objek pembicaraan,” ujarnya.
Radhiyah belajar cara membuat tali bentangan rumput laut. Foto oleh Jumarni untuk Australia-Indonesia Centre
Radhiyah merasa beruntung telah ditugaskan ke Pangkep, sebuah kabupaten di mana sebagian besar penduduknya juga bersuku Bugis.
“Sebagian besar penduduk desa adalah orang Bugis, sama seperti saya, sehingga saya merasa cukup mudah untuk menyesuaikan diri,” katanya.
“Awalnya saya merasa agak sulit untuk mengajak orang berbicara atau merespons seperti yang saya harapkan karena saya biasanya berbicara dalam Bahasa Indonesia dan saya jarang menggunakan bahasa Bugis.
“Tetapi setelah saya menyempurnakan bahasa Bugis saya, akhirnya menjadi lebih mudah untuk berinteraksi dengan para petani.
“Nampaknya, saya merasakan mereka lebih terbuka untuk mendiskusikan berbagai hal begitu mereka tahu bahwa saya dapat berbicara dalam bahasa mereka, dan mereka tidak lagi melihat saya sebagai orang luar.”
Radhiyah memiliki latar belakang di ilmu biologi kelautan dan mengatakan bahwa dipercaya untuk bekerja dengan orang-orang telah menjadi lompatan profesional yang bermanfaat.
“Dipercaya untuk bekerja dan berinteraksi secara dekat dengan orang-orang sebagai subyek penelitian telah memberi saya pengalaman yang sangat berharga. Saya dapat belajar bagaimana berkomunikasi lebih baik dengan orang lain untuk mengekstrak informasi tanpa menimbulkan masalah, belajar bagaimana membangun hubungan dan untuk mengembangkan ikatan dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda,” katanya.
“Hal-hal begini tidak diajarkan di perguruan tinggi manapun namun sangat penting dan istimewa,” katanya.
Penempatan peneliti muda di desa ini bertepatan pada saat pandemi COVID-19. Koordinator program PAIR Dr Hasnawati Saleh harus memastikan para peneliti muda itu tetap menjaga keselamatan diri dan juga orang di sekitarnya.
“Meskipun penempatan diawali pada masa puncak pandemi, semuanya berjalan dengan baik dan semua peneliti junior membaur dalam kehidupan desa.”
“Mereka disarankan untuk lebih menjaga diri sendiri dan juga melindungi keluarga serta masyarakat desa ketika mereka pulang ke rumah atau kembali ke desa.”
Radhiyah menilai bahwa pandemi tidak terlalu mempengaruhi pengalamannya saat penempatan di desa.
“Saya pribadi tidak mengalami kendala apapun karena pandemi, tidak ada masalah yang signifikan. Mungkin juga karena masyarakat di desa sepertinya tidak terpengaruh dengan situasi tersebut. Semua berjalan seperti biasa,” kata Radhiyah.
Radhiyah yang ingin berkarir sebagai sosio-ekolog kelautan merasa bangga bahwa penelitiannya memiliki potensi untuk memberi manfaat bagi masyarakat pesisir.
“Saya melihat profesi ini lebih dibutuhkan sekarang daripada sebelumnya, di mana masalah lingkungan laut sering berbenturan dengan mata pencaharian masyarakat pesisir,” katanya.
“Itu sangat jelas sebagai konsekuensi dari perubahan iklim.
“Saya yakin bahwa latar belakang saya sebagai ahli biologi kelautan dapat membantu saya mewujudkan mimpi saya untuk melakukan penelitian sosial seperti ini.”
Jadi, apakah Radhiyah akan mengenang pengalamannya selama di desa?
“Saya mendapat keluarga baru yaitu tuan rumah di lokasi yang saya tempati. Saya tidak berencana untuk meninggalkan mereka dalam waktu dekat apalagi mengingat keramahan mereka,” katanya.
“Bahkan, saya sudah berencana untuk berkunjung ke desa lagi nanti setelah proyek berakhir. Tidak hanya untuk bertemu keluarga tempat saya tinggal tetapi juga untuk bertemu orang-orang yang dulu saya repotkan dengan berbagai pertanyaan saya tentang rumput laut!”
“Saya pikir kita semua setuju bahwa hubungan interpersonal adalah sesuatu yang tidak mudah dilupakan.”
Bekerja di desa pesisir merupakan pengalaman baru bagi Zulung Walyandra yang lebih terbiasa bekerja di pulau. Pria berusia 30 tahun ini telah berada di desa nelayan selama satu tahun dan penempatan tersebut meningkatkan rasa ingin tahunya untuk belajar lebih banyak.
“Bagi saya, tempat ini seperti laboratorium lapangan terpadu yang menyediakan banyak hal menarik untuk diteliti. Bagi siapa saja yang tertarik untuk melakukan penelitian, mereka dapat dengan mudah menemukan topik yang berkaitan dengan sumber daya, ekonomi, sosial, dan lainnya.”
“Selain itu, bekerja di bidang seperti ini selalu menjadi impian saya. Berinteraksi langsung dengan lingkungan dan masyarakat merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan untuk dilakukan setiap hari,” ujarnya.
Zulung juga merasa kemampuan interpersonalnya berkembang seiring dengan mengenal lebih banyak warga lokal.
“Aku merasa seperti memiliki keluarga baru.”
Peneliti junior Zulung bersama petani rumput laut di desa Pitusunggu. Foto oleh Zulung untuk Australia-Indonesia Centre
“Pekerjaan di mana saya harus berinteraksi dengan orang-orang lokal membantu saya mengatasi kekurangan saya, yaitu pemalu dan tidak percaya diri untuk berinteraksi dengan orang lain,” katanya.
Salah satu kenangan yang menyenangkan bagi Zulung adalah menjalankan program labour diary di desa. Program ini merekam kegiatan sehari-hari petani rumput laut dan kegiatan lain yang terkait dengan budidaya petani.
“Saya memilih seorang petani muda yang berusia 20 tahun untuk menjadi salah satu responden. Setelah satu minggu, dia sangat senang terlibat dalam program buku harian kerja seperti ini karena memberikan dia kesempatan untuk kembali menulis.”
Kedepannya, Zulung ingin terus menjadi peneliti dan membantu masyarakat mengatasi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan mereka.
“Menurut data yang saya baca, rasio peneliti dan luas wilayah di Indonesia tidak seimbang.”
Zulung berharap pengalamannya akan mendorong orang Indonesia lainnya untuk datang ke desa dan melakukan penelitian agar membantu masyarakat menanggulangi masalah mereka.
Zulung percaya bahwa dengan melakukan lebih banyak penelitian di wilayah pesisir akan menghasilkan kebijakan yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Imran dan Risya
Sekitar 132 kilometer jauhnya di Teluk Laikang di Kabupaten Takalar, dua peneliti muda lainnya bekerja dengan penduduk desa dalam proyek rumput laut PAIR.
Muhammad Imran Lapong telah bekerja sama dengan Jaringan Sumber Daya (JASUDA), mitra penelitian PAIR untuk kegiatan komoditas rumput laut. Sejak tahun 2003, ia terlibat dalam pengembangan proyek budidaya rumput laut. Sampai saat ini, dia masih menikmati pekerjaannya dengan masyarakat setempat.
“Hampir setiap kunjungan, kami belajar sesuatu yang baru,” kata Imran.

Catatan observasi lapangan hariannya kini telah dirangkum menjadi sebuah jurnal tentang kehidupan di desa.
“Kami biasanya mencatat informasi penting yang kami temukan, seperti pada penelitian etnografi. Layaknya seorang jurnalis yang ingin mengetahui seluk beluk desa dan bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.”
“Di Desa Laikang ini, dusun yang satu dengan dusun lainnya memiliki karakter masyarakat yang berbeda. Misalnya, masyarakat di Dusun Puntondo lebih terbuka untuk menerima perbedaan dan berinteraksi dengan pendatang baru. Mereka menghargai pekerjaan peneliti dalam melakukan survei dan mengunjungi rumah mereka untuk mengumpulkan data. Mungkin ada perbedaan karakter yang membentuk budaya ini .”
“Selama ini kita seolah menjadi bagian dari mereka, kalau ada acara kekeluargaan seperti pernikahan kami diundang. Kaum remaja juga ramah-ramah dan sering mengajak kita main bola.”
Meski Imran memiliki pengalaman hampir 10 tahun di lapangan, Risya Arsyi Armis tergolong baru dan menantang diri untuk menjajaki sektor baru di bidang rumput laut.
“Ini pertama kalinya saya terlibat dalam tim riset yang begitu kompleks, dari berbagai universitas. Tantangannya adalah karena semua anggota tim peneliti berada di lokasi yang berbeda. Kami mencoba untuk tetap berhubungan sebanyak mungkin melalui berbagai platform karena setiap peran sangat vital dalam proyek ini.”
Sebagai lulusan ilmu kelautan dan perikanan, dia merasa proyek pemetaan rumput laut itu menarik karena memungkinkan dia untuk memperluas wawasannya.
Seperti rekan-rekannya, Risya harus melakukan beberapa penyesuaian budaya.
“Masyarakat Puntondo adalah bagian dari suku Makassar. Kemampuan saya untuk berbahasa Makassar terbatas. Ini adalah pertama kalinya saya mengunjungi desa ini dan saya harus membiasakan diri dengannya selama 1-2 bulan pertama. Saya belajar banyak dari Imran tentang tata cara memulai komunikasi dengan para petani dan mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam penelitian ini,” jelas Risya.

Dia juga bersyukur memiliki rekan peneliti yang mendukung, terutama para pemimpin penelitian, Dr Zannie Langford dan Dr Scott Waldron dari The University of Queensland.
“Jika kami ingin mengajukan pertanyaan terkait penelitian yang perlu diklarifikasi, sebisa mungkin kami berbicara langsung melalui Whatsapp, Zannie dan Scott merespon dengan cepat dan sangat membantu. Saya percaya, bersikap responsif adalah kunci keberhasilan pelaksanaan proyek ini,” pungkasnya.
Keikutsertaannya dalam proyek lapangan seperti ini memberikan kecerahan pada masa depan Risya .
“Saya terbuka untuk segala peluang di masa depan, semoga ini membuka jalan bagi saya untuk pergi ke Australia dengan beasiswa untuk meraih gelar master,” katanya.
“Melalui proyek ini, saya terampil untuk mengembangkan wawasan dalam penelitian kualitatif.”
Dibutuhkan keberanian untuk meninggalkan kota pelabuhan Makassar yang ramai menuju ke selatan semenanjung Sulawesi. Para peneliti muda ini membuka jalan bagi orang lain dengan menunjukkan bagaimana mengembangkan diri secara profesional melalui penelitian lapangan sambil mengumpulkan informasi berharga yang akan membantu komunitas setempat.
Kontribusi dari keempat peneliti muda terhadap proyek penelitian PAIR ini sangat berharga.