Penyandang disabilitas Indonesia bersatu untuk mengatasi tantangan pandemi COVID-19
Seorang pelayan bernama Fardlan yang hidup dengan gangguan pendengaran dengan tepat menangkap perjuangan penyandang disabilitas Indonesia selama pandemi.
“Selama pandemi kita wajib pakai masker,” ujar Fardlan kepada peneliti PAIR.
“Ini menghambat kemampuan saya untuk membaca gerakan bibir dan berkomunikasi dengan pelanggan. Pelanggan juga mengalami kesulitan dalam memahami bahwa saya perlu membaca gerakan bibir mereka, sementara tidak semua orang ingin melepas topeng mereka untuk berbicara dengan saya.”
“Ini menghambat kemampuan saya untuk membaca gerakan bibir dan berkomunikasi dengan pelanggan. Pelanggan juga mengalami kesulitan dalam memahami bahwa saya perlu membaca gerakan bibir mereka, sementara tidak semua orang ingin melepas topeng mereka untuk berbicara dengan saya.”
Kisah Fardlan dibagikan oleh peneliti Profesor Becky Batagol dari Monash University yang berbagi dalam diskusi bersama di PAIR Summit tentang disabilitas.
Diskusi ini berdasarkan laporan dari tim peneliti bernama Komunitas tangguh: Menanggulangi dampak COVID-19 pada penyandang disabilitas.
Pembicara dalam sesi tersebut adalah salah satu ketua tim peneliti riset PAIR untuk COVID-19 Profesor Becky Batagol dan Dr Mohammed Junaid dari Universitas Hasanuddin, serta Dr Ishak Salim, salah satu pendiri Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan.
Sesi tersebut memberikan informasi bahwa pandemi telah menyebabkan “dampak signifikan” pada penyandang disabilitas, diantaranya kehilangan pendapatan, pembatasan sosial, dan banyak yang berjuang dengan kurangnya informasi kesehatan yang dapat diakses dan kesempatan pendidikan.
Ketiga panelis menyajikan bukti yang menyoroti betapa pentingnya pandangan penyandang disabilitas untuk lebih terwakili dalam keputusan kebijakan.
Profesor Batagol mengatakan penyandang disabilitas “bukan prioritas” bagi pemerintah pada awal pandemi.
“Dalam program tanggap darurat yang dilakukan oleh pemerintah, media informasi yang disebarluaskan oleh pemerintah tidak memberikan akses kepada penyandang disabilitas, terutama bagi penyandang tunanetra dan tunarungu.
“Tidak ada bahasa isyarat bagi penyandang disleksia dan informasi disajikan penuh teks sehingga sangat sulit bagi penyandang disleksia untuk mengakses informasi tersebut.”
Profesor Batagol mengatakan perpindahan ke pembelajaran online menyebabkan tantangan bagi siswa tunarungu yang kesulitan memahami kuliah online.
“Karena saya tuli, saya sulit memahami apa yang dikatakan dosen, apalagi dosen menjelaskannya dengan cepat,” kata Profesor Batagol mengutip dari salah satu mahasiswa difabel.
Hasil dari diskusi juga adalah jumlah pengangguran atau dengan pekerjaan tidak tetap meningkat selama pandemi, khususnya bagi penyandang disabilitas.
COVID-19 juga memperkenalkan hambatan baru dalam upaya mereka mengakses kebutuhan dasar yang dampaknya khususnya perempuan penyandang disabilitas dan keluarganya.
“Misalnya, berkurangnya akses ke perawatan kesehatan… termasuk perawatan kesehatan reproduksi untuk perempuan penyandang disabilitas,” kata Profesor Batagol, mencatat bagaimana beberapa perempuan takut mengunjungi pusat kesehatan masyarakat karena takut dengan penularan virus COVID-19.
“Tapi yang penting adalah ada banyak strategi inovatif yang dikembangkan oleh penyandang disabilitas untuk menjawab tantangan yang mereka hadapi,” ujarnya.
“Penyandang disabilitas sangat kreatif dan cerdas dalam merespon keterbatasan akibat pandemi.”, termasuk strategi komunikasi yang ditingkatkan untuk mendukung para penyandang disabilitas.
“Kami juga mencatat bahwa organisasi penyandang disabilitas sangat baik dalam menanggapi pandemi ini,” katanya.
Profesor Batagol mencatat bahwa penyandang disabilitas dapat membantu dengan memberikan informasi bagi penyandang disabilitas lainnya.
Di bidang pendidikan, banyak siswa penyandang disabilitas mengalami kesulitan karena kegiatan mereka umumnya hanya bisa dilakukan di sekolah dan dengan bantuan guru/pendamping.
“Jadi [siswa penyandang disabilitas] mulai bosan dan ada yang kehilangan semangat untuk belajar,” kata Dr Ishak Salim.
“Jika pemerintah tidak mengubah sistem pembelajaran ini… ini akan mengakibatkan keengganan anak-anak ini dan ada potensi mereka kehilangan kemampuan untuk mencapai kemakmuran atau kesejahteraan apa pun.”
Untungnya ada juga beberapa contoh adaptasi positif.
Para peneliti menyoroti rekomendasi utama bagi pemerintah, termasuk:
- Metode komunikasi yang lebih mudah diakses.
- Pemberian sembako.
- Subsidi pemerintah yang ditargetkan secara langsung mempengaruhi kehidupan rumah tangga perempuan dan penyandang disabilitas.
- Pengumpulan data lengkap penyandang disabilitas.
- Lebih banyak dukungan untuk organisasi penyandang disabilitas.
Kesempatan pelatihan yang lebih besar bagi mereka yang bekerja di organisasi penyandang disabilitas.
Tim Penanggulangan COVID harus secara khusus mengikutsertakan penyandang disabilitas dan perempuan penyandang disabilitas dalam merencanakan kebijakan mereka.
“Beberapa dari rekomendasi ini membutuhkan biaya, tetapi banyak yang tidak, seperti metode komunikasi yang lebih jelas dan ramah disabilitas,” kata Profesor Batagol.
Dr Mohammed Junaid dari Universitas Hasanuddin berbicara tentang tantangan penggunaan masker bagi penyandang disabilitas, khususnya mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan.
Ia juga mencatat perlunya layanan penerjemahan khusus untuk menyampaikan pesan tentang layanan bagi penyandang disabilitas, dengan berbagai bahasa di seluruh Indonesia.
Dr Ishak Salim mengatakan penting bagi semua bagian komunitas penyandang disabilitas, khususnya perempuan penyandang disabilitas, untuk menjadi bagian dari proses pengembangan kebijakan.
“Saya percaya disabilitas adalah isu yang terkait dengan isu lain yang saling bersinggungan. Perempuan penyandang disabilitas memiliki kerentanan yang jauh lebih besar,” katanya.
“Upaya mengikutsertakan perempuan dalam isu disabilitas juga dilakukan oleh rekan-rekan kami di sejumlah organisasi disabilitas.”
Dia mencatat bahwa organisasi seperti Asosiasi Perempuan Penyandang Disabilitas di Sulawesi Selatan tidak hanya menangani masalah perempuan tetapi juga masalah LGBTQ.
“Dalam penilaian kami, sikap patriarki inilah yang menjadi tantangan bagi anak-anak di komunitas ini untuk mencari pendidikan,” katanya.
“Jadi perkumpulan dan komunitas ini membantu membuka cakrawala baru dan membuka pikiran serta menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas.”