Rumput laut Indonesia layak untuk mendukung upaya dekarbonisasi
Dengan menyatukan rumput laut Indonesia dan inovasi teknologi Australia, visi bersama untuk dekarbonisasi dapat diwujudkan.
Visi tersebut dibahas pada konferensi bisnis, dan juga merupakan bagian dari kolaborasi penelitian rantai pasokan rumput laut sebagai bagian dari program penelitian PAIR.
Kontribusi sektor pertanian terhadap emisi karbon terekam dengan baik. Menurut Dewan Iklim, pertanian di Australia menyumbang sekitar 13 persen dari emisi gas rumah kaca tahunan negara dan hampir setengahnya dalam bentuk metana dari hewan ternak.
Upaya untuk mengurangi emisi metana ternak sedang berjalan dengan baik. Para ilmuwan dari James Cook University dan Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) di Australia telah melakukan penelitian tentang penggunaan rumput laut dalam bahan baku pakan ternak.
Temuan menunjukkan bahwa dengan menambahkan jenis rumput laut merah Indonesia, Asparagopsis Taxiformis, ke pakan ternak dapat mengurangi emisi metana secara signifikan.
Potensi rumput laut Indonesia ini didiskusikan pada konferensi IndOz tahun ini di Brisbane, di mana perwakilan dari Austrade Sally Deane menyoroti manfaat komoditas ini bagi Indonesia dan Australia.
“Indonesia adalah salah satu produsen rumput laut terkemuka di dunia, sedangkan Australia belakangan ini telah mengembangkan beberapa inovasi hebat dalam penggunaan rumput laut untuk mengurangi emisi gas metana dari ternak,” kata Deane dalam pertemuan tersebut.
Di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pengembangan ekonomi rumput laut dan pengembangan klaster rumput laut di daerah seperti Sulawesi Selatan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan juga nilai jual.
Australia-Indonesia Centre telah mengamati rumput laut secara mendalam, menugaskan beberapa proyek penelitian meneliti bagaimana membangun industri yang berkelanjutan.
Tim peneliti PAIR menganalisis rantai pasokan dan bagaimana mengukur kualitas serta nilai komoditas mentah.
Di awal tahun ini, tim eksekutif dari AIC melihat langsung proses pengolahan rumput laut dengan mengunjungi Bantimurung Seaweed di Sulawesi Selatan. Bisnis produksi karaginan ini memiliki pengalaman ekspor lebih dari 30 tahun ke negara-negara seperti Inggris, China, Argentina, Korea Selatan dan Filipina.
Menurut Direktur Eksekutif AIC Eugene Sebastian kebergantungan pada ekspor produk mentah menandakan adanya peluang untuk mengubah dan menambah nilai produk melalui inovasi.
“Pada rumput laut, ada potensi untuk menciptakan peluang kerjasama perdagangan di bawah perjanjian perdagangan IA-CEPA. Kami percaya ada peluang untuk menarik investasi guna meningkatkan rantai nilai rumput laut. Di bidang-bidang seperti infrastruktur, pemrosesan, dan bahkan inovasi,” jelas Dr Eugene.
Kepala Bagian Hubungan Eksternal Bantimurung Seaweed Shinta Pratiwi Rahayu mengatakan, upaya kolektif ini akan disambut baik.
Menurut Ibu Shinta hal ini dapat dicapai “…dengan membuka lebih banyak peluang investasi, termasuk renovasi fasilitas, inovasi produk, dan sertifikasi food grade.”
Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dr Musdhalifah Machmud mengatakan, salah satu kunci pengembangan komoditas adalah memastikannya untuk memenuhi permintaan pasar. Oleh karena itu, kerjasama untuk meningkatkan pemasaran produk komoditas rumput laut perlu dikembangkan, terutama dengan negara tetangga seperti Australia.
Dr Machmud adalah Anggota Dewan Penasihat Riset PAIR yang memberi saran tentang dampak dan implementasi penelitian.
“Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengembangan komoditas rumput laut dan ekowisata yang ramah lingkungan sehingga dapat mendorong percepatan pelaksanaan ekonomi hijau,”
Energi bersih
Skenario dekarbonisasi Indonesia dibangun atas asumsi bahwa negara mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil, menyediakan listrik untuk sebagian besar rumah tangga, dan mengurangi kemiskinan. Sebuah studi kasus menunjukkan bahwa dekarbonisasi sesuai dengan tujuan pembangunan sosial ekonomi negara tersebut.
Pergeseran ke energi bersih juga diangkat oleh Sally Deane di konferensi tersebut.
“Rencana bisnis penyediaan listrik Indonesia memperkirakan permintaan listrik akan meningkat 4,9 persen per tahun antara tahun 2021 dan 2030,” katanya.
Deane juga membahas tantangan bersama antara Indonesia dan Australia karena keduanya sangat bergantung pada batubara untuk energi dan pendapatan sambil juga berusaha untuk dekarbonisasi.
Sebuah studi kasus tentang dekarbonisasi sektor kelistrikan Indonesia menguraikan urgensi untuk mengadaptasi perubahan iklim dengan aksi yang tepat, menarik pendanaan untuk investasi infrastruktur dan teknologi yang signifikan, memfasilitasi transfer teknologi, dan mengadopsi kebijakan penetapan harga energi yang sesuai untuk sumber-sumber terbarukan.
“Tetapi kabar baiknya adalah Indonesia dan Australia telah menyatakan dan menunjukkan bahwa mereka sangat berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan bertransisi ke energi bersih,” kata Deane.
Foto di atas oleh Imran untuk Australia-Indonesia Centre.