Seniman Indonesia hadapi pandemi
Pengalaman COVID-19 sangat berbeda bagi para seniman di sektor ekonomi kreatif yang harus bergantung pada sumber daya dan kemampuan untuk beroperasi secara digital.
Dalam komunitas kreatif Yogyakarta, ada cerita perjuangan selama pandemi dari pekerja dengan pendapatan rendah tanpa tabungan.
“Satu temuan, diantara mereka yang berpenghasilan lebih rendah, lebih mudah bagi mereka untuk mempercayai informasi yang salah tentang COVID-19,” kata peneliti Dr Annisa Beta.
“Mereka hanya berharap itu tidak benar; mereka hanya sangat membutuhkan pekerjaan. Tanpa pertunjukan, mereka harus membatalkan banyak rencana dalam hidup mereka.”
Dr Beta memimpin sebuah proyek dengan Dr Oki Rahadianto Sutopo untuk Kemitraan Riset Australia-Indonesia (PAIR).
Mereka menulis sebuah laporan yang berjudul: Ekonomi kreatif: Bagaimana pekerja kreatif muda di Yogyakarta menghadapi COVID-19, berdasarkan hasil riset selama gelombang pertama pandemi COVID-19.
Hasil dari penelitian tersebut akan dibahas secara detail di hari Kedua PAIR Digital Summit, Selasa 2 Desember 2021.
Daftar disini untuk PAIR Digital Summit Hari Ke-2
“Kami berbicara dengan sekelompok dalang terkenal dimana mereka harus membatalkan beberapa pertunjukan,” kata Dr Beta.
“Para seniman itu beruntung karena mereka memiliki pekerjaan sampingan, tetapi sekali lagi mereka mengandalkan teman atau pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup, banyak dari mereka ingin kembali ke pekerjaan kreatif mereka.”
Menurut penelitian, pengalaman seniman dan kreatif sangat bervariasi, tergantung pada sejauh mana mereka dapat mendigitalkan pekerjaan mereka dan apakah mereka memiliki akses ke studio.
Beberapa penari, misalnya, yang memiliki akses ke teknologi digital dan studio dapat memasarkan karyanya secara online. Sementara yang lain menawarkan pelatihan menari online kepada anak-anak.
“Salah satu penari yang kami wawancarai beralih ke YouTube dan merekam tariannya, atau membuat tarian yang dia pikir bisa diciptakan selama pandemi. Jadi itu akan menjadi warisannya dari pandemi,” kata Dr Beta.
Tapi ini bukan pilihan untuk penari, penyanyi, atau musisi yang biasanya tampil untuk turis di kafe.
“Ada gagasan bahwa pekerja kreatif bisa mendigitalkan aktivitasnya, sesuatu yang harus diperjuangkan pemerintah.
“Itu mungkin benar bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian lainnya, pertunjukan secara live itu tidak dapat dengan mudah digantikan dengan digitalisasi,” kata Dr Beta.
“Tantangan tersebut dapat dilihat pada musisi dan pekerja teater. Untuk musisi, hal ini lebih sulit karena mereka tidak bisa begitu saja menciptakan musik baru.
“Untuk memiliki pendapatan yang berkelanjutan, mereka harus memiliki pertunjukan.
“Musisi kebanyakan mandiri dan bermain di kafe atau dengan pertunjukan kecil sehingga pandemi menjadi situasi yang sangat menyedihkan bagi mereka.”
Banyak dari pekerja kreatif telah mendapatkan dukungan pemerintah. Misalnya, para pembuat film memperoleh dana dari pemerintah untuk membuat video pendek untuk beradaptasi secara efektif selama pandemi.
Dan pemerintah daerah juga memberikan beberapa dukungan kepada sektor kreatif dan pekerja kreatif di Yogyakarta, dengan festival seni diadakan secara online atau offline dengan protokol kesehatan yang ketat.
“Banyak pekerja seni berbasis kolektif juga secara mandiri melanjutkan produksi seni mereka,” kata Dr Oki Sutopo, Co-lead proyek dari Universitas Gadjah Mada.
“Diskusi online dan offline masih sering terjadi, namun berkreasi lebih penting saat ini bagi pekerja kreatif muda untuk melanjutkan karir artistik mereka.”
Dr Beta memberikan contoh dukungan pemerintah kepada seniman muda dari jaringan sineas Yogyakarta.
“Ia memperoleh dana selama COVID-19 dengan tekad, ‘kita perlu membuat film dan video untuk menggambarkan apa yang terjadi saat ini karena COVID’,” katanya.
“Pendanaan itu didapatkan tidak hanya karena mampu membuat film, tetapi juga sebagai bukti bahwa Ia mampu beradaptasi dengan sangat baik.”
Fotografer adalah pekerja kreatif lainnya yang mampu beradaptasi dengan baik dengan beralih ke produksi digital, sama seperti pembuat film.
Penelitian ini difokuskan di Yogyakarta tetapi penelitian ini memiliki beberapa relevansi dengan beberapa provinsi lain dengan koneksi pariwisata yang kuat seperti Bali.
“Ada beberapa poin yang relevan,” kata Dr Beta.
“Anda lihat betapa banyak penari yang tidak memiliki sumber pendapatan dan berkelanjutan selain bekerja di tempat wisata.
“Kondisi ini persis sama di Yogyakarta dan Bali. Pertanyaan serupa juga bisa diajukan ke Bali, Bandung, dan Jakarta.”
Ketika Indonesia dan negara-negara lain perlahan mulai terbuka pasca-COVID-19, apakah ada pandangan bahwa komunitas kreatif mulai pulih?
“Dari diskusi baru-baru ini dengan para peneliti, tampaknya mereka sudah bangkit kembali. Tetapi kami tidak tahu kelompok mana yang bangkit kembali,” kata Dr Beta.
Daftar disini untuk PAIR Digital Summit Hari Ke-2
“Pertanyaannya, apakah hanya mereka yang memiliki sumber daya atau modal yang cukup yang bisa bangkit kembali? Sampai saat ini, kami belum memiliki data untuk mereka yang lebih muda dengan sumber daya yang lebih sedikit.”
Dampak pandemi terhadap pekerja kreatif muda di Indonesia akan dibahas dalam sebuah diskusi panel bersama Dr Annisa Beta, Dr Oki Rahadianto Sutopo dan Direktur Festival ReelOzInd Dr Jemma Purdey pada Kamis 2 Desember untuk Hari ke-2 PAIR Digital Summit.
Baca laporan penelitian selengkapnya disini.