Negara rumput laut: sektor pertumbuhan baru Indonesia

Peneliti PAIR AIC baru-baru ini mengunjungi desa pantai kecil Pitue, di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Budidaya rumput laut telah menjadi sektor bisnis utama bagi masyarakat di sana, meskipun industri lokal perlu lebih berkembang jika ingin membantu lebih banyak orang keluar dari jerat kemiskinan.

 
Studi menunjukkan bahwa industri ini memiliki potensi untuk memberikan pendapatan rumah tangga yang jauh lebih banyak daripada menangkap ikan, tetapi peluang ini dibatasi oleh terbatasnya hilirisasi dan, bagi banyak orang, akses ke industri yang tidak berimbang (La Ode et al.).

Read or download the full (English-only) AIC Backgrounder (No.2/2020): ‘Seaweed Nation’

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau. Garis pantainya adalah yang terpanjang kedua di dunia. Luas lautnya meliputi 17,92 juta hektar, tiga kali luas daratannya. Potensi produksi total perikanan dan akuakultur Indonesia sangat besar – diperkirakan sekitar 100 juta ton per tahun, dibandingkan dengan produksi saat ini 20 juta ton per tahun.

Budidaya rumput laut adalah industri yang berkembang di wilayah timur Indonesia, dan provinsi Sulawesi Selatan memainkan peran penting dalam produksinya. Menurut Deloitte, provinsi ini sendiri menyumbang 18 persen dari produksi rumput laut merah global, yang mendukung mata pencaharian utama bagi 40.000 rumah tangga. Namun, sebagian besar dari rumput laut merah itu tidak diproses atau diolah di Sulawesi Selatan tetapi diekspor untuk diproses di tempat lain. Akibatnya, petani rumput laut tetap miskin, dan provinsi bahkan negara masih terus memainkan peran yang terbatas dalam rantai nilai global.

Tidak hanya sushi

Meskipun rumput laut dipanen di seluruh dunia, 99 persen dihasilkan oleh delapan negara di Asia. Cina dan Indonesia, sejauh ini, adalah produsen yang dominan, dengan pangsa produksi Tiongkok adalah 47 persen dan Indonesia 38 persen.

Produksi Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 5.170 ton pada tahun 2010 dan 11.631 ton pada tahun 2015. Pertumbuhan yang cepat ini disebabkan oleh budidaya Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma – bahan baku utama untuk ekstraksi karaginan yang digunakan untuk mengentalkan, mengemulsi dan mengawetkan makanan dan minuman.

Laporan Bank Dunia tahun 2016 memperkirakan bahwa produksi rumput laut global tahunan dapat mencapai 500 juta ton pada tahun 2050 jika produsen dapat meningkatkan panen mereka sebesar 14 persen per tahun. Dengan angka 500 juta ton tentunya akan meningkatkan pasokan pangan dunia sebesar 10 persen dari level saat ini. Hal ini juga berpotensi untuk menciptakan 50 juta pekerjaan yang langsung berhubungan dalam proses produksinya. Selain itu, rumput laut dapat dijadikan sebagai biofuel, menggantikan 1,5 persen bahan bakar fosil yang digunakan untuk kendaraan di seluruh dunia.

Rumput laut adalah produk serbaguna dengan potensi besar. Sekitar 65 persen dari seluruh produksi rumput laut dikonsumsi, 15 persen diubah menjadi bahan pengental yang tidak berasa dan tidak berwarna sebagai bahan tambahan makanan, sementara 20 persen lainnya menjadi pupuk, bahan pakan ternak, kertas dan biofuel. Karaginan diekstraksi dari batang rumput laut dan digunakan dalam industri makanan karena sifatnya sebagai pembentuk gel, pengental dan stabilisator. Karaginan digunakan sebagai besar dalam produk susu dan daging karena ikatan kuat karaginan dengan protein makanan. Karaginan juga merupakan alternatif gelatin untuk vegetarian dan vegan. Alginat, ekstrak rumput laut lainnya, adalah biopolimer laut yang digunakan untuk mengentalkan larutan, membuat gel, dan membentuk lapisan tipis dalam beberapa industri. Industri tekstil, sebagai contoh, menggunakannya sebagai pengental untuk pasta pewarna. Dalam industri makanan dan minuman, alginat digunakan dalam es krim dan saus.

Perkembangan terbaru dalam biorefining telah memperluas penggunaan rumput laut untuk produksi biofuel, bahan kimia, kosmetik dan farmasi. Laboratorium nasional Australia, CSIRO, misalnya, sedang meneliti manfaat rumput laut sebagai pakan ternak sapi untuk menekan produksi emisi metana pada sapi dan domba, serta mengurangi emisi gas rumah kaca senilai 17 milyar dolar Australia dari sektor peternakan Australia. Perusahaan rintisan Indonesia, Evoware, telah menciptakan cangkir dan wadah makanan yang terbuat dari rumput laut sebagai alternatif plastik. Perusahaan tersebut juga telah membuat desain pembungkus makanan kemasan (untuk kopi atau bumbu penyedap untuk mie instan) yang terbuat dari bahan berbasis rumput laut yang dapat dilarutkan dan dikonsumsi.

Prioritas nasional

Indonesia memiliki rencana ambisius untuk meningkatkan sektor rumput laut. Walaupun negara ini merupakan produsen utama rumput laut tropis yang dibudidayakan, sebagian besar diekspor ke Cina atau Filipina sebagai bahan baku bernilai tambah rendah (low value-added). Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo menegaskan rencana tersebut. Beliau mengumumkan Peta Jalan Pengembangan Industri Rumput Laut Nasional 2018-2021, menyerukan industri untuk memproses semua rumput laut yang diproduksi di dalam negeri. “Kita harus mengembangkan industri dan hilirisasi untuk dapat mengekspor barang jadi. Kita tidak boleh terus-menerus (hanya) menjadi pemasok bahan baku.”, kata Jokowi.

Pemerintah berencana untuk menggandakan produksi rumput laut dari hampir 19,5 juta ton pada 2019; untuk memproses setengahnya di dalam negeri pada tahun 2020; dan untuk mencapai 5 persen kandungan rumput laut dalam campuran bahan baku untuk ikan dan peternakan lainnya.

Pada tahun 2016, pemerintah mengumumkan peningkatan anggaran pengembangan rumput laut. Anggaran tersebut delapan kali lipat dengan total 238 juta dolar Amerika. Lebih banyak modal diinvestasikan untuk membangun gudang penyimpanan dan pabrik, serta untuk meningkatkan kualitas benih. Peta jalan yang dikembangkan oleh Jokowi kemudian mengidentifikasi beberapa poin penting. Misalnya, lima provinsi Sulawesi (kecuali Sulawesi Barat) diidentifikasi menawarkan prospek bagi dua spesies rumput laut esensial: Eucheuma dan Gracilaria – sumber utama karaginan. Meningkatkan budidaya rumput laut, manajemen berkelanjutan, inovasi hilirisasi dan peningkatan daya saing adalah beberapa area lain yang diidentifikasi dalam peta jalan ini.

Selain itu, pemerintah juga mengidentifikasi beberapa masalah lain yang perlu diperbaiki, diantaranya adalah:

  • Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia untuk membudidayakan dan mengolah rumput laut. Sekitar 60 persen perusahaan yang terlibat dalam survei oleh Pusat Promosi Impor yang berbasis di Belanda (the Netherlands-based Centre for the Promotions of Imports from Developing Countries) melaporkan minimnya pengalaman dan keahlian para karyawan sebagai hambatan.
  • Biaya transportasi dan logistik yang mahal.
  • Tingkat penggunaan fasilitas produksi yang kurang optimal. Pusat Promosi Impor tersebut melaporkan bahwa tidak ada prosesor yang beroperasi pada kapasitas penuh, beberapa hanya menggunakan 30 hingga 40 persen dari kapasitas mereka. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya akses ke rumput laut atau kurangnya akses pasar.
  • Infrastruktur pendukung yang tidak memadai, termasuk jalan, air bersih, listrik, dan gas.
  • Kebijakan fiskal pemerintah yang tidak bersaing secara internasional.
  • Akses pasar terbatas untuk produsen dan pengolah rumput laut.

Rumput laut secara signifikan dapat meningkatkan perekonomian Indonesia dan secara nyata meningkatkan kesejahteraan dan mata pencaharian masyarakat, terutama mereka yang bermukim di wilayah pesisir dan kepulauan. Dengan lebih banyak investasi ke sektor ini, peluang besar akan mengalir dari pengembangan industri yang sehat, berkelanjutan, dan berdaya saing global.

Read or download the full (English-only) AIC Backgrounder (No.2/2020): ‘Seaweed Nation’

Referensi

Picture of Dr Hasnawati Saleh

PAIR Research Coordinator
The Australia-Indonesia Centre

Picture of Dr Eugene Sebastian

Executive Director
The Australia-Indonesia Centre