Sistem tenurial wilayah pesisir dalam bingkai praktik budidaya rumput laut

PAIR (Partnership for Australia Indonesia Research) merupakan program kerja sama riset antara Indonesia dan Australia yang dibentuk dengan tujuan untuk mendorong pengarusutamaan kebijakan-kebijakan berbasis bukti dalam mewujudkan prioritas pembangunan berkelanjutan.

 

Terhitung sejak Agustus 2021 hingga Desember 2022, The University of Queensland dan PT. JASUDA (Jaringan Sumber Daya) telah bekerja sama dalam Program PAIR untuk menjalankan sejumlah penelitian bersama bertema “Peningkatan Berkelanjutan Industri Rumput Laut di Sulawesi Selatan”. Salah satu topik penelitian yang dikaji dalam kerja sama ini adalah isu terkait manajemen tenurial wilayah pesisir pada salah satu sentra penghasil rumput laut di Sulawesi Selatan, yakni Desa Pitu Sunggu di Kabupaten Pangkep.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami sejauh mana kehadiran praktik budidaya rumput laut mempengaruhi transformasi dan dinamika pemanfaatan ruang pesisir serta dampaknya terhadap relasi sosial para pengguna lautan. Berdasarkan data dan informasi yang telah terhimpun, diketahui bahwa masuknya praktik budidaya rumput laut untuk pertama kalinya di Desa Pitu Sunggu diperkirakan terjadi sekitar tahun 2007 yang diperkenalkan oleh salah satu warga setempat. Dalam periode awal pengadopsiannya, praktik budidaya ini mendapatkan penentangan yang cukup signifikan dari sejumlah warga. Bukan tanpa alasan, sebelum praktik budidaya rumput laut masuk di Desa Pitu Sunggu, perairan di sekitar desa dimanfaatkan umumnya oleh para nelayan sebagai milik bersama (common property), baik nelayan penangkap ikan, penjaring kepiting, pencari kerang ataupun nelayan penangkap udang rebon.

Klik untuk membaca laporan selengkapnya di sini

 

Karenanya, ketika pondasi-pondasi lahan budidaya rumput laut mulai menginterupsi ruang pesisir dan ruang budidaya yang tempati tersebut dijadikan milik pribadi dari petani pembudidaya (private property), penolakan signifikan kemudian muncul dari kalangan nelayan, utamanya oleh nelayan penjaring kepiting. Mereka keberatan karena kehadiran petak-petak budidaya yang bersifat semi-permanen tersebut dianggap telah membatasi ruang gerak nelayan: jalur perahu terhalangi, dan ruang untuk menjaring kepiting pun menjadi semakin terbatas.

Gambur fitur oleh Radhiyah Ruhon